“Seandainya jika pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah dilakukan dengan mempertimbangkan kelayakan aspek lingkungan, bencana asap sekarang ini akan dapat di eliminir.
Beberapa waktu yang lalu Menteri Kesehatan Malaysia memperingatkan bahwa serbuan asap tebal akibat kebakaran hutan di Indonesia dapat menimbulkan kemarahan terhadap Indonesia. Itu baru kiriman, bagaimana dengan si pengirim? Apa lebih marah atau sebaliknya pasrah? Rasanya, kebakaran hutan disaat musim kemarau seperti sekarang ini merupakan fenomena yang selalu sama dihadapi Indonesia setiap tahun, dan sudah dapat ditebak “asap” adalah produknya. Belum jelas apakah ada penelitian yang mencoba menghitung dampak dari aspek ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Namun paling tidak yang sudah di beritakan diberbagai media, bencana asap ini berdampak pada mandeknya transportasi udara dan sungai/laut, bertambahnya masyarakat yang terkena penyakit ispa, libur sekolah serta tidak maksimalnya pelayanan kepada masyarakat.
MAPPING SUMBER BENCANA ASAP
Jika di petakan bencana asap di Indonesia, maka yang paling dominan memproduksi asap adalah dari wilayah pulau sumatera dan kalimantan, sementara pulau jawa dan sulawesi, papua, madura dan bali dalam kasus sangat jarang ditemukan. Mengapa sumatera dan kalimantan?
Secara sosiokultural dan topografi sumatera dan kalimantan memiliki banyak kesamaan kecuali gunung berapi, salah satunya adalah tanah gambut dan tradisi peladang berpindah-pindah.
Peladang berpindah-pindah atau “tana” dalam bahasa dayak ngaju, “ume” dalam bahasa dayak ma’ayan dan dusun, merupakan sebuah tradisi yang sulit dipisahkan dari kehidupan kebanyakan masyarakat dayak di kalimantan khususnya kalimantan tengah. Dari dulu dan hingga sekarang ini “tana/ume” adalah merupakan satu urat nadi dalam pemenuhan kebutuhan pokok masayarakat dayak di pedesaan, hasilnya adalah padi, sayur-sayuran serta buah-buahan. Mengapa tradisi ini masih kuat di kalangan masyarakat dayak, yang katanya tradisi inilah yang menjadi momok “bencana asap” di kalimantan?
TRADISI dan REGULASI
Ada beberapa alasan, pertama: topografi kalimantan tengah yang di dominasi oleh lahan gambut dan tanah berpasir, berdampak pada tingkat ketidak suburan tanah dan sehingga dalam pengelolaan dan penggarapan lahan tidak dapat dilakukan untuk jangka panjang. Hal ini berbeda dengan keadaan tanah yang ada di pulau jawa dan sulawesi serta papua. Kedua, nenek moyang orang dayak selalu mengajarkan kearifan pada alam, meskipun dari dahulu sampai sekarang yang mereka lakukan adalah membuka hutan untuk lahan “tana/ume” namun mereka selalu menjaga keseimbangan dengan alam, dengan selalu melakukan “reboisasi produktif”. Lahan yang sudah tidak di pakai lagi untuk “tana/ume” ditanami kembali dengan berbagai komoditas yang bernilai ekonomi, misalnya karet, rotan, dan buah-buahan. Lihatlah! di kalimantan, banyak ditemukan hutan karet, hutan buah-buahan dan hutan rotan disepanjang jalan ataupun dipinggiran sungai, ini adalah eks dari “tana/ume” yang ditinggalkan oleh petaninya. Ketiga, selain bermata pencaharian sebagai petani padi, masayarakt dayak juga umumnya adalah petani karet, rotan dan pencari hasil hutan. Untuk membuka perkebunan karet dan rotan, pasti dilakukan adalah dengan membabat hutan, yang sudah pasti didahului dengan ”tana/ume”. Keempat, jika melakukan pembabatan hutan, mulai dari “tebas tebang” hingga pembakaran selalu diperhitungkan aspek-aspek yang dapat merugikan, misalnya pembakaran lahan akan berakibat api yang menjalar sehingga mengakibatkan kebakaran hutan, oleh sebab itu umumnya di masyarakat dayak saat akan melakukan pembakaran lahan selalu diadakan ritual. Dari aspek ilmiah memang tidak logis, namum jarang sekali ditemukan kasus pembakaran lahan “tana/ume” berdampak pada kebakaran hutan. Kelima, lihat dan perhatikan rumah masyarakat yang ada di pedesaan kalimantan, hampir seluruhnya terbuat dari kayu dan bahkan ada yang dari kulit kayu. Miskin ditengah kekayaan alam yang melimpah. Padahal dapat dipastikan bahwa semua bahan baku itu di peroleh dari alam sekitarnya. Dari kelima alasan itu, pertanyaannya adalah seberapa besar kerusakan hutan yang diakibatkan oleh penebangan kayu untuk “tana/ume” dan pemenuhan kebutuhan akan papan masyarakat sekitar?
Namun kini, justru tradisi ”tana/ume” dan juga penebangan untuk kebutuhan papan masyarakat sekitar, dijadikan kambing hitam, sehingga memunculkan regulasi, masyarakat dilarang menebang pohon, membabat hutan dan bahkan membakarnya. Ada banyak keluh kesah masyarakat pedesaan akan tingkat kehidupan dan kesejahteraannya sekarang ini.
Rasanya pemerintah harus arif, lihatlah pada fakta dan data bahwa bencana asap di Kalimantan tengah ini semakin parah sejak akhir tahun 90-an sebagai akibat dari : pembukaan lahan untuk proyek transmigrasi yang kebanyakan gagal, gagalnya mega proyek sejuta hektar pada zaman orde baru, banyaknya pemberian ijin HPH, yang disinyalir ada yang membeli hasil tebangan kayu dari masyarakat di luar areal HPH-nya, pembukaan lahan untuk perkebunan-perkebunan besar, dan illegal logging sebagai akibat dari keserakahan para cukong dan aparat. Mari kita renungkan apa yang akan dilakukan masyarakat kecil dengan tradisi “tana/ume” yang masih bergantung kepada alam?
MANAJEMEN PENANGGULANGAN BENCANA ASAP
Fakta bahwa bencana asap merupakan bencana tahunan, spot atau titik panas yang paling banyak ditemukan adalah pada lahan gambut, oleh sebab itu patut dilakukan manjemen penanggulangan bencana asap dengan melakukan: pertama, tindakan preperentif, misalnya sekarang ini sudah dimulai dengan membuat “tembeng” atau “dam” untuk menahan air di lahan eks sejuta hektar, sehingga lahan gambut tetap dalam kondisi basah dan berair . Kedua, melakukan reboisasi pada lahan gundul dengan tanaman-tanaman produktif bernilai ekonomi yang sesuai dengan kondisi tanah dan gambut. Dari pengalaman bahwa tanaman yang cocok dilahan gambut adalah kelapa sawit, jambu mente dan nanas. Ketiga, pemerintah menghimbau masyarakat agar tidak membakar lahan dan mencari solusi agar masyarakat tidak setiap tahun selalu membabat hutan untuk lahan “tana/ume” dengan model perkebunan atau pertanian lainnya. Keempat, tindakan yang keras bagi illegal logging dan juga pemegang HPH yang melanggar aturan, serta pengawasan yang ketat bagi pengelola-pengelola perkebunan besar di kalimantan tengah. Kelima, tersedianya pompa atau sumur bor pada areal lahan gambut. keenam, perlu dibentuknya semacam team/garda penanggulangan kebakaran lahan gambut secara professional. (Soni Harsono Awan adalah Pemerhati ekonomi, sosial dan budaya Kalimantan Tengah dan staff pengajar pada PTS di Surabaya)