Minggu, 06 Januari 2008

Air Terjun (Jantur Inar) Kutai Barat Kalimantan Timur







Potensi wisata alam Air Terjun (Jantur Inar) di Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur yang sangat indah dan asri, masih dikelilingi hutan. Namun sayang potensi ini masih belum di garap optimal dan banyak fasilitas yang ada tidak terawat dan terkesan ditinggalkan.

Ada banyak objek wisata alam yang tersebar di Kabupaten Kutai Barat, antara lain Taman Anggrek, beberapa air terjun di sekitar Kota Sendawar, Lamin Adat Pepas Eheng, dan masih banyak yang lainnnya.

Sabtu, 05 Januari 2008

KEARIFAN ALAM: MENDULANG UANG MENUAI KEMISKINAN





Dua puluh tahun yang lalu, masih segar dalam ingatan saya jika pada musim kemarau menelusuri sungai Kahayan atau sungan Barito pada siang hari, banyak sekali ditemui penduduk di pedesaan sepanjang alur sungai sedang berkumpul di tepian sungai yang landai dan berpasir. Sepanjang hari, tua, muda, anak-anak, laki-laki maupun perempuan ada yang menyelam untuk mengambil pasir di dasar sungai dan ada juga yang memegang seperti talam besar yang terbuat dari kayu dan berbentuk bulat serta ditengahnya dibuat lekukan tempat berkumpulnya pasir dalam bahasa daerah di Kalimantan Tengah disebut Dulang. Dulang tersebut diisi dengan pasir dan sedikit air lalu di gerakan dan diputar-putar dan pada akhirnya yang tersisa pada dasar dulang tersebut adalah bintik-bintik kuning yang disebut dengan biji emas.
Pemandangan lain juga ditemukan, hilir mudik perahu penduduk dengan tujuan yang beragam, ada yang ke ladang, mencari hasil hutan, menyadap karet, mencari/memanen rotan, yang kebanyakan lahannya ada ditepian sungai serta ada juga sebagai nelayan. Air sungai yang cukup jernih, dikiri dan kanan sungai banyak ditemui ladang para penduduk di sela kebun karet maupun rotan merupakan pemandangan yang sangat indah. Kearifan alam yang memberikan harmoni indah dan sudah berlangsung turun temurun.
Namun kini pemandangan yang kontras ditemui disepanjang alur kedua sungai tersebut, khususnya jika kita menelusuri sungai Barito dari Muara Teweh sampai ke pedalaman dan di sungai Kahayan dari Palangkaraya sampai dengan Tumbang Miri, kerusakan sungai yang begitu hebat; air yang sangat keruh, tepian sungai longsor, dimana-mana ditemukan gundukan pasir baik di tepian sungai maupun di tengah sungai sehingga membuat alur sungai tidak berbentuk lagi dan parahnya adalah terjadi pendangkalan sungai, dan banyak ditemui tumbangnya kebun-kebun karet yang sudah dipelihara turun-temurun.
Kerusakan ini tidak lain diakibatkan karena terdapat ribuan penambang emas dengan menggunakan mesin disel untuk menyedot pasir dari dasar sungai (istilah pemerintah PETI: penambang tanpa ijin) oleh penduduk setempat maupun pendatang yang melakukan aktivitasnya disepanjang alur kedua sungai tersebut. Aktivitas ini dilakukan sepanjang hari dan musim dan dimana-mana ditemui rakit bermesin disel dan asap hitam mengepul dari mesin tersebut, sementara mesin itu beroperasi terlihat sebuah pipa besar menyemburkan air dan pasir lalu dialirkan ke sebuah bak kayu yang dilapisi karpet yang diletakan miring, dikarpet itulah biji-biji emas itu menempel. Sementara diburitan rakit tersebut terlihat gundukan-gundukan pasir (terlihat jelas pada musim kemarau), dan di tengah sungai dan depan rakit tersebut banyak ditemukan tanda yang dibuat kepada para pengguna sungai untuk menghindari tanda tersebut karena disitu terdapat tali tempat menambat rakit mereka.
Tidak mengherankan kalau aktivitas ini dari waktu ke waktu peminatnya terus bertambah, karena dapat memberikan pendapatan yang sangat besar serta prosesnya sangat mudah, jika dibandingkan dengan kegiatan pertanian lainnya atau usaha-usaha tradisonal yang selama ini mereka geluti.
Namun ironisnya ditengah gelimang emas dan uang, kesejahteraan para penduduk tersebut tidak juga meningkat, tidak jarang ditemukan rumah tua, reot, dan kusam di desa-desa sepanjang sungai, namun pemandangan yang kontras jika kita masuk ke rumah tersebut, akan kita lihat televisi, VCD player, dan generator listrik, disamping rumah terlihat juga parabola.
Kondisi seperti ini jika di biarkan terus menerus dan tanpa adanya perhatian dari pemerintah daerah, akan berdampak sangat buruk pada masa akan datang, baik untuk penduduk itu sendiri maupun untuk iklim investasi daerah yang sedang digalakan di era otonomi daerah sekarang ini. Dampak buruk itu antara lain (1) ribuan penduduk di daerah aliran sungai itu terancam penyakit minamata karena mengkonsumsi air dan ikan yang sudah terkontaminasi air raksa; (2) hilangnya perkebunan karet dan rotan rakyat di pinggiran sungai, padahal usaha inilah yang banyak menghidupi masyarakat turun temurun; (3) bertambahnya jumlah anak putus sekolah karena harus membantu orang tuanya; (4) kultur segala sesuatu untuk kebutuhan masyarakat sudah disediakan oleh alam, ini menjadi kebiasaan (habbit) dimanja oleh alam sehingga pendapatan hari ini dihabiskan hari ini, urusan besok juga untuk besok, membuat masyarakat enggan untuk melakukan aktivitas lainnya, apalagi jika aktivitas itu memerlukan waktu yang lama untuk memperoleh pendapatan (memperoleh uang dengan cara instan); (5) kerusakan daerah aliran sungai yang berdampak pada terhambatnya jalur transportasi sungai, membuat biaya ekonomi tinggi, harga kebutuhan pokok masyarakat di pedalaman sudah sangat mahal apalagi jika musim kemarau harga itu bisa melonjak dua kali lipat, siapa yang merasakan dampaknya? (6) Keenganan investor khususnya di bidang pertambangan dan hasil hutan untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut, jika mengandalkan transportasi sungai yang hanya bisa beroperasi secara optimal pada musim penghujan saja. Di daerah kedua aliran sungai ini kaya akan sumber daya alam seperti kayu, batu bara, rotan, dan hasil hutan lainnya, namun eksplorasi hasil hutan ini sangat terkendala karena sungai yang dangkal pada musim kemarau hanya bisa dilalui oeh kapal kelotok dengan tonase yang kecil dan arus yang deras pada musim penghujan, sementara transportasi darat masih belum memadai.
Bukan karena ingin membatasi usaha penduduk, namun jika aktivitas ini dibiarkan terus akan sangat merugikan bagi penduduk itu sendiri maupun pemerintah daerah pada masa yang akan datang, jika sekarang mendulang uang masa yang akan datang akan mendulang kemiskinan, bagaimana dengan nasib generasi akan datang jika saat ini semua sumber daya alam di eksplorasi dengan cara-cara yang tidak terkendali, sementara belum ada upaya untuk menggali potensi serta mempersiapkan usaha-usaha yang dapat memberikan usaha yang permanen kepada masyarakat.
Selayaknya pemerintah daerah mulai memikirkan upaya-upaya kedepan untuk mengatasi hal ini, membatasi atau melarang aktivitas menambang emas secara langsung bukanlah keputusan yang arif dibutuhkan waktu dan upaya yang terintegrasi di segala bidang untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya dari kegiatan yang mereka lakukan selama ini. Upaya tersebut antara lain: (1) membuka aktivitas baru agrobinsnis yang bersifat permanen antara lain perkebunan karet, kelapa sawit, vanilli, lada dan lain-lain; (2) memberikan penyadaran kepada masyarakat akan bahaya aktivitas yang mereka lakukan baik untuk kesehatan, pendidikan dan dampak lingkungan; (3) pendapatan uang yang sangat besar saat ini di investasikan di perbankan atau untuk membuka usaha baru yang bersifat permanen dan sesuai dengan kondisi setempat, bukan pendapatan sekarang ditujukan untuk hidup konsumtif.
Memang tidak mudah merubah kebiasaan masyarakat dari paradigma mencari uang dengan mudah dan cepat (instan), dan pendapatan hari ini dihabiskan hari ini besok urusannya juga untuk besok, namun kalau ini tidak dilakukan bukan keniscayaan tapi masa yang akan datang akan mendatangkan kemiskinan dan kemelaratan bagi anak dan cucu, tidak ada kata terlambat jika semua merasa terbebani demi untuk generasi pada masa yang akan datang. (Soni Harsono Awan adalah Pemerhati ekonomi, sosial dan budaya kalimantan tengah dan staff pengajar pada PTS di Surabaya)

Tradisi "Tana/Ume" dan "Bencana Asap" di Kalimantan Tengah





“Seandainya jika pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah dilakukan dengan mempertimbangkan kelayakan aspek lingkungan, bencana asap sekarang ini akan dapat di eliminir.

Beberapa waktu yang lalu Menteri Kesehatan Malaysia memperingatkan bahwa serbuan asap tebal akibat kebakaran hutan di Indonesia dapat menimbulkan kemarahan terhadap Indonesia. Itu baru kiriman, bagaimana dengan si pengirim? Apa lebih marah atau sebaliknya pasrah? Rasanya, kebakaran hutan disaat musim kemarau seperti sekarang ini merupakan fenomena yang selalu sama dihadapi Indonesia setiap tahun, dan sudah dapat ditebak “asap” adalah produknya. Belum jelas apakah ada penelitian yang mencoba menghitung dampak dari aspek ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Namun paling tidak yang sudah di beritakan diberbagai media, bencana asap ini berdampak pada mandeknya transportasi udara dan sungai/laut, bertambahnya masyarakat yang terkena penyakit ispa, libur sekolah serta tidak maksimalnya pelayanan kepada masyarakat.

MAPPING SUMBER BENCANA ASAP
Jika di petakan bencana asap di Indonesia, maka yang paling dominan memproduksi asap adalah dari wilayah pulau sumatera dan kalimantan, sementara pulau jawa dan sulawesi, papua, madura dan bali dalam kasus sangat jarang ditemukan. Mengapa sumatera dan kalimantan?
Secara sosiokultural dan topografi sumatera dan kalimantan memiliki banyak kesamaan kecuali gunung berapi, salah satunya adalah tanah gambut dan tradisi peladang berpindah-pindah.
Peladang berpindah-pindah atau “tana” dalam bahasa dayak ngaju, “ume” dalam bahasa dayak ma’ayan dan dusun, merupakan sebuah tradisi yang sulit dipisahkan dari kehidupan kebanyakan masyarakat dayak di kalimantan khususnya kalimantan tengah. Dari dulu dan hingga sekarang ini “tana/ume” adalah merupakan satu urat nadi dalam pemenuhan kebutuhan pokok masayarakat dayak di pedesaan, hasilnya adalah padi, sayur-sayuran serta buah-buahan. Mengapa tradisi ini masih kuat di kalangan masyarakat dayak, yang katanya tradisi inilah yang menjadi momok “bencana asap” di kalimantan?

TRADISI dan REGULASI
Ada beberapa alasan, pertama: topografi kalimantan tengah yang di dominasi oleh lahan gambut dan tanah berpasir, berdampak pada tingkat ketidak suburan tanah dan sehingga dalam pengelolaan dan penggarapan lahan tidak dapat dilakukan untuk jangka panjang. Hal ini berbeda dengan keadaan tanah yang ada di pulau jawa dan sulawesi serta papua. Kedua, nenek moyang orang dayak selalu mengajarkan kearifan pada alam, meskipun dari dahulu sampai sekarang yang mereka lakukan adalah membuka hutan untuk lahan “tana/ume” namun mereka selalu menjaga keseimbangan dengan alam, dengan selalu melakukan “reboisasi produktif”. Lahan yang sudah tidak di pakai lagi untuk “tana/ume” ditanami kembali dengan berbagai komoditas yang bernilai ekonomi, misalnya karet, rotan, dan buah-buahan. Lihatlah! di kalimantan, banyak ditemukan hutan karet, hutan buah-buahan dan hutan rotan disepanjang jalan ataupun dipinggiran sungai, ini adalah eks dari “tana/ume” yang ditinggalkan oleh petaninya. Ketiga, selain bermata pencaharian sebagai petani padi, masayarakt dayak juga umumnya adalah petani karet, rotan dan pencari hasil hutan. Untuk membuka perkebunan karet dan rotan, pasti dilakukan adalah dengan membabat hutan, yang sudah pasti didahului dengan ”tana/ume”. Keempat, jika melakukan pembabatan hutan, mulai dari “tebas tebang” hingga pembakaran selalu diperhitungkan aspek-aspek yang dapat merugikan, misalnya pembakaran lahan akan berakibat api yang menjalar sehingga mengakibatkan kebakaran hutan, oleh sebab itu umumnya di masyarakat dayak saat akan melakukan pembakaran lahan selalu diadakan ritual. Dari aspek ilmiah memang tidak logis, namum jarang sekali ditemukan kasus pembakaran lahan “tana/ume” berdampak pada kebakaran hutan. Kelima, lihat dan perhatikan rumah masyarakat yang ada di pedesaan kalimantan, hampir seluruhnya terbuat dari kayu dan bahkan ada yang dari kulit kayu. Miskin ditengah kekayaan alam yang melimpah. Padahal dapat dipastikan bahwa semua bahan baku itu di peroleh dari alam sekitarnya. Dari kelima alasan itu, pertanyaannya adalah seberapa besar kerusakan hutan yang diakibatkan oleh penebangan kayu untuk “tana/ume” dan pemenuhan kebutuhan akan papan masyarakat sekitar?
Namun kini, justru tradisi ”tana/ume” dan juga penebangan untuk kebutuhan papan masyarakat sekitar, dijadikan kambing hitam, sehingga memunculkan regulasi, masyarakat dilarang menebang pohon, membabat hutan dan bahkan membakarnya. Ada banyak keluh kesah masyarakat pedesaan akan tingkat kehidupan dan kesejahteraannya sekarang ini.
Rasanya pemerintah harus arif, lihatlah pada fakta dan data bahwa bencana asap di Kalimantan tengah ini semakin parah sejak akhir tahun 90-an sebagai akibat dari : pembukaan lahan untuk proyek transmigrasi yang kebanyakan gagal, gagalnya mega proyek sejuta hektar pada zaman orde baru, banyaknya pemberian ijin HPH, yang disinyalir ada yang membeli hasil tebangan kayu dari masyarakat di luar areal HPH-nya, pembukaan lahan untuk perkebunan-perkebunan besar, dan illegal logging sebagai akibat dari keserakahan para cukong dan aparat. Mari kita renungkan apa yang akan dilakukan masyarakat kecil dengan tradisi “tana/ume” yang masih bergantung kepada alam?

MANAJEMEN PENANGGULANGAN BENCANA ASAP
Fakta bahwa bencana asap merupakan bencana tahunan, spot atau titik panas yang paling banyak ditemukan adalah pada lahan gambut, oleh sebab itu patut dilakukan manjemen penanggulangan bencana asap dengan melakukan: pertama, tindakan preperentif, misalnya sekarang ini sudah dimulai dengan membuat “tembeng” atau “dam” untuk menahan air di lahan eks sejuta hektar, sehingga lahan gambut tetap dalam kondisi basah dan berair . Kedua, melakukan reboisasi pada lahan gundul dengan tanaman-tanaman produktif bernilai ekonomi yang sesuai dengan kondisi tanah dan gambut. Dari pengalaman bahwa tanaman yang cocok dilahan gambut adalah kelapa sawit, jambu mente dan nanas. Ketiga, pemerintah menghimbau masyarakat agar tidak membakar lahan dan mencari solusi agar masyarakat tidak setiap tahun selalu membabat hutan untuk lahan “tana/ume” dengan model perkebunan atau pertanian lainnya. Keempat, tindakan yang keras bagi illegal logging dan juga pemegang HPH yang melanggar aturan, serta pengawasan yang ketat bagi pengelola-pengelola perkebunan besar di kalimantan tengah. Kelima, tersedianya pompa atau sumur bor pada areal lahan gambut. keenam, perlu dibentuknya semacam team/garda penanggulangan kebakaran lahan gambut secara professional. (Soni Harsono Awan adalah Pemerhati ekonomi, sosial dan budaya Kalimantan Tengah dan staff pengajar pada PTS di Surabaya)

Berkaca pada Jakarta

Jakarta adalah Ibukota Republik Indonesia, segala-galanya ada disana, dari pusat industri, perdagangan, pariwisata dan hiburan sampai dengan pusat kekuasaan dan pemerintahan, pusat koordinasi sampai dengan pusat pengambilan keputusan. Selama ini jika ada masalah di daerah salah satu kendala yang di hadapi adalah pengambilan keputusan dan koordinasi pusat dan daerah, sebagai contoh penanganan masalah tsunami di Aceh, Sumatera Utara dan Nias, bencana alam di Jawa Tengah dan Jawa Barat, sampai dengan masalah lumpur Lapindo. Bagaimana jika masalah tersebut ada di Jakarta? Mestinya tidak ada masalah bukan?
Tapi, ironisnya guyuran hujan beberapa hari yang lalu baik yang terjadi di daerah resapan Bogor dan Jawa Barat sampai dengan di Jakarta sendiri membuat Kota Jakarta menjadi danau dan sungai yang akhirnya membuat moda kehidupan dan bisnis lumpuh total. Diperkirakan kerugian secara ekonomi yang ditimbulkan sebesar 4,1 triliun, sebuah angka yang fantastis. Ditambah lagi dengan penyakit yang muncul pasca banjir, dibeberapa rumah sakit sudah tidak mampu lagi menampung pasien yang menderita diare dan demam berdarah. Hal yang juga menjadi fokus perhatian pemerintah DKI adalah masyarakat miskin (poor society) yang kembali ke bawah garis kemiskinan karena hancurnya sendi-sendi kehidupan mereka.
Jakarta dan Surabaya sebenarnya mempunyai persoalan yang sama dalam menghadapi masalah banjir pada musim penghujan, dibeberapa wilayah genangan air yang sulit surut khususnya wilayah Surabaya serta wilayah yang berbatasan dengan Gresik. Ada beberapa hal yang harus dilakukan secara berkesinambungan dan terorganisir oleh Pemerintah Kota dalam menanggulangi masalah banjir di Surabaya. Tindakan prefentif: Pertama, melakukan koordinasi dan kerjasama serta pengawasan yang ketat dalam pemberian ijin penggunaan lahan serta pendirian bangunan pada daerah-daerah resapan yang berada di wilayah Mojokerto, Sidoarjo dan Pasuruan. Kedua, pengerukan sungai dan saluran pembuangan yang berada di wilayah Surabaya secara periodik. Ketiga, rutinitas pembersihan sungai dan saluran pembuangan dari sampah. Pemerintah Kota Surabaya sudah melakukan kampanye kali bersih. Keempat, menjaga dan melakukan tindakan yang keras bagi masyarakat yang mendirikan bangunan di pinggiran kali yang peruntukannya bukan untuk bangunan. Contoh yang sudah dilakukan Pemerintah Kota Surabaya adalah revitalisasi stren Jagir pada beberapa waktu yang lalu. Kelima, konsistensi Pemkot kepada aturan yang sudah dibuat, tentang sanksi kepada masayarakat yang membuang sampah tidak pada tempatnya khususnya adalah pembuangan sampah pada sungai dan saluran pembuangan. Keenam, adalah menambah atau membuat saluran pembuangan yang baru pada tempat-tempat yang sering menjadi langganan banjr. Selanjutnya adalah tindakan aksi, berupa: pertama, koordinasi dengan berbagai instansi misalnya, dinas kebersihan, dinas pengairan, dinas kesehatan dan lain-lain. Kedua, mengaktifkan satuan pelaksana pada tingkat lapangan penanggulangan pertolongan untuk bencana dari tingkat kecamatan hingga tingkat Pemerintah Kota. Ketiga, melakukan pelatihan serta simulasi kepada masyarakat jika terjadi bencana banjir atau bencana alam lainnya, dari tindakan penyelamatan hingga evakuasi.
Memang hingga saat ini, banjir yang melanda Kota Surabaya tidaklah separah banjir yang melanda Kota Jakarta, namun bukan hal yang mustahil di waktu-waktu mendatang kejadian itu terjadi di Kota Surabaya, jika tidak ada tindakan yang kongkrit dilakukan oleh Pemerintah. (Soni Harsono., Wakil Ketua I Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya).

Pemberantasan Korupsi dan Komitmen Organisasi

Tindakan tegas yang dilakukan oleh oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung kepada para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia sudah mulai menampakan hasil, meskipun diakui secara kuantitatif tidak sebanding lurus jika dibandingkan dengan laporan serta pemeriksaan yang masuk tentang adanya indikasi tindak pidana korupsi dari masyarakat di seluruh Indonesia. Selain itu ada kesan tindakan tebang pilih kepada para koruptor membuat masyarakat menjadi gerah melihat sepak terjang dari kedua lembaga tersebut.
Terlepas dari kekurangan diatas, yang patut dibanggakan adalah adanya komitmen dari beberapa lembaga tinggi negara untuk bersama melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Tanggal 31 Januari 2007, Bank Indonesia (BI) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengadakan sosialisasi kepada pimpinan perbankan nasional di Jakarta tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam kesempatan itu salah satu Deputi Gubernur BI membacakan sambutan tertulis Gubernur BI dengan statemen: “Bank sebagai salah satu entitas ekonomi tentu tidak luput dari kemungkinan dijadikan sebagai sasaran dan atau sarana tindak pidana korupsi. Mengingat korupsi adalah tindak kejahatan yang menimbulkan kerusakan yang sangat luas, maka penanganannya harus dilakukan secara sistematis, terpadu, dan melibatkan seluruh komponen bangsa”.
Dalam mendukung pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi, BI telah menerapkan beberapa kebijakan strategis seperti mengeluarkan peraturan tentang prinsip Know Your Customer (KYC), Good Corporate Governance (GCG) di sektor perbankan, penerapan manajemen risiko dalam pengelolaan bank, fit & proper test terhadap calon dan atau pemilik/pengurus/pejabat bank, serta pembentukan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Kejaksaan Agung RI, Kapolri dan Gubernur BI dalam rangka kerjasama penanganan tindak pidana di bidang perbankan. Disamping itu, BI juga telah membentuk Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan (DIMP) yang bertugas melakukan Investigasi terhadap kejahatan perbankan membentuk Biro Informasi Kredit (BIK) yang berperan meningkatkan kualitas manajemen risiko perbankan dan governance perbankan secara keseluruhan.
Masalah-masalah Penegakan
Sebagai konsekuensi dari tindakan dan keputusan diatas muncul masalah ketakutan dikalangan birokrat serta pelaku bisnis. Masalah yang sangat dirasakan di kalangan birokrat adalah: (1) ketakutan dalam penggunaan anggaran pembangunan. Beberapa Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota yang menyimpan dana anggaran pembangunannya di perbankan daerah/nasional, dan kemudian dana tersebut oleh perbankan daerah/nasional di investasikan lagi ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Jumlah angka yang sangat fantastis, jika semua anggaran tersebut benar-benar dipergunakan untuk pembangunan. Efek multiplayer dari dana anggaran pembangunan tersebut bisa membantu masyarakat dalam pengurangan pengangguran dan kemiskinan. (2) Banyak birokrat yang menolak menjadi pimpinan proyek (Pimpro), (3) Banyak perusahaan dan rekanan serta pelaku bisnis yang masih bingung menentukan kebijakannya, karena kesimpang siuran informasi dan kebijakan, serta masih banyak lagi masalah lainnya.
Erry Riyana Hardjapamekas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Dialog Interaktif Ikatan Serjana Ekonomi (ISEI) di Surabaya, 02 Februari 2007 mengatakan: Hal ini mungkin bisa dimaklumi karena perubahan seringkali tidak membuat kita nyaman dan Menurut Robert Klitgaard (Rektor Claremont Graduate University) efek dari sebuah peraturan berbentuk kurva J (J curve). Kurva J biasa terjadi saat suatu aturan baru diberlakukan, akan timbul kebingungan yang menyebabkan turunnya kinerja pada awal diterapkannya aturan baru tersebut. Pemicunya adalah: (a) Uncertainty after change,(b) Fear of punishment. Karenanya ketidakpastian akibat perubahan harus ditekan, juga kejelasan aturan main harus diikuti dengan sosialisasi yang efektif, untuk menekan efek J curve ini.
Namun yang perlu di beri catatan positif dalam penegakan tindak pidana korupsi di Indonesia adalah sambutan baik dari beberapa pemerhati Internasional khusus Indonesia, antara lain adalah Robert Klitgaard yang mengatakan senang melihat kemajuan yang telah Indonesia capai, dan yakin dalam kurun 2-4 tahun lagi kemajuannya akan lebih pesat lagi sehingga kondisi Indonesia menjadi lebih baik. Indonesia sedikit demi sedikit telah berhasil membangun suatu tata pemerintahan yang baik dan bebas korupsi (good governance). Kondisi ini secara tidak langsung merupakan buah dari semakin kondusifnya iklim demokrasi di Indonesia. Diprediksikan dalam kurun 4-8 tahun, Indonesia akan menjadi contoh bagi dunia sebagai negara yang berhasil mewujudkan good governance.
Oleh sebab itu upaya pemberantasan korupsi seyogyanya tidak dapat dihalang-halangi oleh alasan-alasan, seperti bahwa korupsi itu sudah membudaya, korupsi terjadi dimana-mana ataupun butuh waktu yang sangat lama untuk memberantas korupsi. Korupsi, adalah suatu tindak pidana yang berbahaya karena tidak hanya dapat merugikan keuangan negara tetapi juga dapat merusak iklim investasi.
(Soni Harsono Awan., Wakil Ketua I Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya).