THE DEATH OF ECONOMICS
Turbulensi pasar keuangan global kian menjadi-jadi pasca bangkrutnya perusahaan investasi raksasa Leh¬man Brothers pada 15 September 2008. Tak satu negara pun yang terbebas dari amukan bencana finansial ini, termasuk Indonesia. Pasar keuangan kita juga ikut dihantam sentimen negatif
Teringat juga akan peristiwa besar pada pertengahan Tahun 1997 yaitu krisis keuangan dan ekonomi yang terjadi di hampir seluruh negara di Asia, khususnya negara-negara di Asia Timur yang sangat parah termasuk Indonesia. Peristiwa yang sama juga pernah melanda negara-negara Amerika Latin, seperti Argentina, Brasil, dan Chilie sekitar Tahun 60-an, demikian halnya dengan Mexico dan Canada. Tidak terkecuali negara-negara berkembang, Amerika Serikat pun pernah merasakan krisis serupa, yaitu depresi (great depression) ekonomi semasa Pemerintahan Presiden Roosevelt Tahun 1930-an, dan tekanan inflasi yang terjadi pada era 1970-80-an.
Krisis ini merupakan refleksi kegagalan kapitalisme membangun kesejahteran umat manusia di muka bumi, mengingatkan kita akan sebuah buku yang berjudul The Death of Economics (1994), karangan Profesor Paul Ormerod yang melukiskan bahwa ekonomi terjebak pada ideologi kapitalisme yang mekanistik yang ternyata tidak memiliki kekuatan dalam membantu dan mengatasi resesi ekonomi yang melanda dunia. Mekanisme pasar yang merupakan bentuk dari sistem yang diterapkan kapitalis cenderung pada pemusatan kekayaan pada sekelompok orang tertentu. Dan akhirnya isu kematian ilmu ekonomi semakin meluas di kalangan para cedikiawan dunia dan menimbulkan pertanyaan yang mendasar adakah sistim ekonomi yang dapat memberikan rasa berkeadilan dan memakmurkan semua golongan masyarakat di muka bumi ini?
Jika diamati dengan saksama, seolah-olah ada sesuatu yang terjadi dalam sistem ekonomi dunia. Apakah memang ada “invisible hands” atau tangan yang tidak kelihatan mengatur mekanisme ekonomi dunia seperti yang dikemukakan oleh Adam Smith. Berbagai pendapat bermunculan, baik sekedar untuk menangapi atau bahkan sampai pada perumusan formula ekonomi yang diyakini sebagai obat dari krisis yang terjadi. Pro dan kontra untuk mencari penyebabnya mewarnai antara pendapat satu dengan pendapat lainnya. Tidak sedikit yang mengkambinghitamkan Amerika Serikat dan lembaga keuangannya yang paling bertanggung jawab, bahkan ada yang menuding Amerika dan Eropa menjadi biang keladi krisis ekonomi tahun 2008 ini dengan fenomena yang disebut “The buble of economics”.
Keraguan VS Keyakinan
Tanpa mengabaikan berbagai pendapat yang ada, ada satu makna yang tersirat atas berbagai peristiwa ekonomi yang terjadi di dunia ini, yaitu meragukan akan kehandalan teori-teori ekonomi yang dibangun!. Mengapa tidak? Bukankah fungsi suatu teori sebagaimana umumnya adalah untuk menjelaskan hubungan antara berbagai gejala dan fenomena dalam dunia nyata dan dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan arah dan dampak dari berbagai gejala tersebut dikemudian hari? Demikian juga dengan Ilmu Ekonomi, bukan?. Dalam kenyataannya membuktikan bahwa hakekat dari Ilmu Ekonomi itu sendiri yaitu bagaimana manusia dapat hidup untuk memperoleh kemakmuran serta kesejahteraan terasa jauh untuk dicapai, bahkan kebijakan-kebijakan yang diambil berdasarkan teori-teori (ekonomi) justru memperpanjang dan menjauhkan dari hakekat ilmu itu sendiri, dan adalah wajar jika Profesor Paul Ormerod pada tahuan 1994 menerbitkan buku “The Death of Economics” atau matinya ilmu ekonomi yang disambut luas di berbagai kalangan baik ekonom maupun pembaca umum, sebuah pemikiran yang mencoba mengajak pembacanya untuk merenungkan soal-soal falsafah dan ilmiah tentang ilmu ekonomi itu sendiri.
Ada sesuatu yang memang perlu untuk disadari dalam hubungan dengan kehandalan suatu teori, bahwa teori itu sendiri bukanlah suatu kebenaran (mutlak), akan tetapi merupakan suatu metode atau alat untuk mendekati kebenaran. Bisa jadi kebenaran suatu teori bisa diterapkan ditempat lain pada waktu tertentu, tetapi tidak dapat diterapkan di tempat yang lain.
Kehandalan serta keampuhan suatu teori sangat ditentukan oleh banyak faktor, antara lain konstruksi internal teori itu sendiri dan aplikasinya, seringkali konstruksi internal sudah tepat, namun menjadi lemah dalam menjelaskan dan memprediksi gejala yang sebenarnya. Hal ini berarti ada permasalahan pada aplikasinya. Sebaliknya, pengaplikasian teori tersebut juga sangat ditentukan oleh berbagai faktor antara lain adalah para pengambil kebijakan, baik dari sisi kompetensinya maupun kemampuannya, dan bahkan self-interest dibalik kebijakan yang diambil.
Faktor lainnya yang berada diluar dari konteks kerangka teori yang dibangun adalah adalah situasi dan kondisi, misalkan terjadinya bencana alam, atau kegiatan serta perilaku-perilaku yang tidak rasional-ekonomis dari pelaku-pelaku bisnis seperti pemakaian bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan misalnya melamin, borax, formalin dan zat pewarna pakaian untuk produk-produk makanan, kegiatan-kegiatan penyeludupan dan penimbunan barang-barang tertentu dari pihak produsen maupun konsumen.
Kemana setelah ini?
Apakah gejala tadi adalah lonceng bagi kematian ilmu ekonomi? Nampaknya tidak!..... karena secara alamiah manusia selalu berusaha dan mencoba sesuatu yang baru dengan tujuan mensejahterakan dan memakmurkan hidupnya. Kita mestinya dapat bercermin bagaimana negara Cina yang tidak mau didikte maupun diintrvensi oleh negara manapun, kita juga mesti iri kepada negara India atas kemajuan ekonominya. Ada berbagai pemikiran tentang sistem ekonomi yang dapat diterapkan: kapitalis, sosialis, campuran kapitalis dan sosialis, ekonomi syariah, atau pemikiran dari karya anak negeri sendiri misalnya koperasi, ekonomi pancasila, ekonomi kerakyatan, dan lain-lain, tinggal sekarang tergantung adakah kemauan politik dari legislatif maupun eksekutif.
Artikel ini sudah dimuat pada harian Surya, Rabu 4 Februari 2009
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda