Sabtu, 05 Januari 2008

KEARIFAN ALAM: MENDULANG UANG MENUAI KEMISKINAN





Dua puluh tahun yang lalu, masih segar dalam ingatan saya jika pada musim kemarau menelusuri sungai Kahayan atau sungan Barito pada siang hari, banyak sekali ditemui penduduk di pedesaan sepanjang alur sungai sedang berkumpul di tepian sungai yang landai dan berpasir. Sepanjang hari, tua, muda, anak-anak, laki-laki maupun perempuan ada yang menyelam untuk mengambil pasir di dasar sungai dan ada juga yang memegang seperti talam besar yang terbuat dari kayu dan berbentuk bulat serta ditengahnya dibuat lekukan tempat berkumpulnya pasir dalam bahasa daerah di Kalimantan Tengah disebut Dulang. Dulang tersebut diisi dengan pasir dan sedikit air lalu di gerakan dan diputar-putar dan pada akhirnya yang tersisa pada dasar dulang tersebut adalah bintik-bintik kuning yang disebut dengan biji emas.
Pemandangan lain juga ditemukan, hilir mudik perahu penduduk dengan tujuan yang beragam, ada yang ke ladang, mencari hasil hutan, menyadap karet, mencari/memanen rotan, yang kebanyakan lahannya ada ditepian sungai serta ada juga sebagai nelayan. Air sungai yang cukup jernih, dikiri dan kanan sungai banyak ditemui ladang para penduduk di sela kebun karet maupun rotan merupakan pemandangan yang sangat indah. Kearifan alam yang memberikan harmoni indah dan sudah berlangsung turun temurun.
Namun kini pemandangan yang kontras ditemui disepanjang alur kedua sungai tersebut, khususnya jika kita menelusuri sungai Barito dari Muara Teweh sampai ke pedalaman dan di sungai Kahayan dari Palangkaraya sampai dengan Tumbang Miri, kerusakan sungai yang begitu hebat; air yang sangat keruh, tepian sungai longsor, dimana-mana ditemukan gundukan pasir baik di tepian sungai maupun di tengah sungai sehingga membuat alur sungai tidak berbentuk lagi dan parahnya adalah terjadi pendangkalan sungai, dan banyak ditemui tumbangnya kebun-kebun karet yang sudah dipelihara turun-temurun.
Kerusakan ini tidak lain diakibatkan karena terdapat ribuan penambang emas dengan menggunakan mesin disel untuk menyedot pasir dari dasar sungai (istilah pemerintah PETI: penambang tanpa ijin) oleh penduduk setempat maupun pendatang yang melakukan aktivitasnya disepanjang alur kedua sungai tersebut. Aktivitas ini dilakukan sepanjang hari dan musim dan dimana-mana ditemui rakit bermesin disel dan asap hitam mengepul dari mesin tersebut, sementara mesin itu beroperasi terlihat sebuah pipa besar menyemburkan air dan pasir lalu dialirkan ke sebuah bak kayu yang dilapisi karpet yang diletakan miring, dikarpet itulah biji-biji emas itu menempel. Sementara diburitan rakit tersebut terlihat gundukan-gundukan pasir (terlihat jelas pada musim kemarau), dan di tengah sungai dan depan rakit tersebut banyak ditemukan tanda yang dibuat kepada para pengguna sungai untuk menghindari tanda tersebut karena disitu terdapat tali tempat menambat rakit mereka.
Tidak mengherankan kalau aktivitas ini dari waktu ke waktu peminatnya terus bertambah, karena dapat memberikan pendapatan yang sangat besar serta prosesnya sangat mudah, jika dibandingkan dengan kegiatan pertanian lainnya atau usaha-usaha tradisonal yang selama ini mereka geluti.
Namun ironisnya ditengah gelimang emas dan uang, kesejahteraan para penduduk tersebut tidak juga meningkat, tidak jarang ditemukan rumah tua, reot, dan kusam di desa-desa sepanjang sungai, namun pemandangan yang kontras jika kita masuk ke rumah tersebut, akan kita lihat televisi, VCD player, dan generator listrik, disamping rumah terlihat juga parabola.
Kondisi seperti ini jika di biarkan terus menerus dan tanpa adanya perhatian dari pemerintah daerah, akan berdampak sangat buruk pada masa akan datang, baik untuk penduduk itu sendiri maupun untuk iklim investasi daerah yang sedang digalakan di era otonomi daerah sekarang ini. Dampak buruk itu antara lain (1) ribuan penduduk di daerah aliran sungai itu terancam penyakit minamata karena mengkonsumsi air dan ikan yang sudah terkontaminasi air raksa; (2) hilangnya perkebunan karet dan rotan rakyat di pinggiran sungai, padahal usaha inilah yang banyak menghidupi masyarakat turun temurun; (3) bertambahnya jumlah anak putus sekolah karena harus membantu orang tuanya; (4) kultur segala sesuatu untuk kebutuhan masyarakat sudah disediakan oleh alam, ini menjadi kebiasaan (habbit) dimanja oleh alam sehingga pendapatan hari ini dihabiskan hari ini, urusan besok juga untuk besok, membuat masyarakat enggan untuk melakukan aktivitas lainnya, apalagi jika aktivitas itu memerlukan waktu yang lama untuk memperoleh pendapatan (memperoleh uang dengan cara instan); (5) kerusakan daerah aliran sungai yang berdampak pada terhambatnya jalur transportasi sungai, membuat biaya ekonomi tinggi, harga kebutuhan pokok masyarakat di pedalaman sudah sangat mahal apalagi jika musim kemarau harga itu bisa melonjak dua kali lipat, siapa yang merasakan dampaknya? (6) Keenganan investor khususnya di bidang pertambangan dan hasil hutan untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut, jika mengandalkan transportasi sungai yang hanya bisa beroperasi secara optimal pada musim penghujan saja. Di daerah kedua aliran sungai ini kaya akan sumber daya alam seperti kayu, batu bara, rotan, dan hasil hutan lainnya, namun eksplorasi hasil hutan ini sangat terkendala karena sungai yang dangkal pada musim kemarau hanya bisa dilalui oeh kapal kelotok dengan tonase yang kecil dan arus yang deras pada musim penghujan, sementara transportasi darat masih belum memadai.
Bukan karena ingin membatasi usaha penduduk, namun jika aktivitas ini dibiarkan terus akan sangat merugikan bagi penduduk itu sendiri maupun pemerintah daerah pada masa yang akan datang, jika sekarang mendulang uang masa yang akan datang akan mendulang kemiskinan, bagaimana dengan nasib generasi akan datang jika saat ini semua sumber daya alam di eksplorasi dengan cara-cara yang tidak terkendali, sementara belum ada upaya untuk menggali potensi serta mempersiapkan usaha-usaha yang dapat memberikan usaha yang permanen kepada masyarakat.
Selayaknya pemerintah daerah mulai memikirkan upaya-upaya kedepan untuk mengatasi hal ini, membatasi atau melarang aktivitas menambang emas secara langsung bukanlah keputusan yang arif dibutuhkan waktu dan upaya yang terintegrasi di segala bidang untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya dari kegiatan yang mereka lakukan selama ini. Upaya tersebut antara lain: (1) membuka aktivitas baru agrobinsnis yang bersifat permanen antara lain perkebunan karet, kelapa sawit, vanilli, lada dan lain-lain; (2) memberikan penyadaran kepada masyarakat akan bahaya aktivitas yang mereka lakukan baik untuk kesehatan, pendidikan dan dampak lingkungan; (3) pendapatan uang yang sangat besar saat ini di investasikan di perbankan atau untuk membuka usaha baru yang bersifat permanen dan sesuai dengan kondisi setempat, bukan pendapatan sekarang ditujukan untuk hidup konsumtif.
Memang tidak mudah merubah kebiasaan masyarakat dari paradigma mencari uang dengan mudah dan cepat (instan), dan pendapatan hari ini dihabiskan hari ini besok urusannya juga untuk besok, namun kalau ini tidak dilakukan bukan keniscayaan tapi masa yang akan datang akan mendatangkan kemiskinan dan kemelaratan bagi anak dan cucu, tidak ada kata terlambat jika semua merasa terbebani demi untuk generasi pada masa yang akan datang. (Soni Harsono Awan adalah Pemerhati ekonomi, sosial dan budaya kalimantan tengah dan staff pengajar pada PTS di Surabaya)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda