Rabu, 19 Agustus 2009

Ekuitas Merek atau Ekuitas Pelanggan ?

I. Pendahuluan
Globalisasi telah mengakibatkan kompetisi semakin ketat, dan ratusan produk yang berada dalam satu kategori saling berebut memuaskan kebutuhan konsumen. Konsumen berada dalam posisi yang sangat kuat karena tersedianya banyak alternatif untuk suatu kebutuhan, sekaligus bingung karena banyaknya pilihan. Apalagi masing-masing membanjiri konsumen dengan iklan dan bentuk komunikasi pemasaran lainnya, disertai klaim dan janji. Semakin jelaslah betapa pentingnya peran sebuah merek.
Davis menuturkan sekitar 70 persen pelanggan bersedia membayar harga 20 persen lebih tinggi terhadap merek pilihannya. Kesediaan membayar 25 persen lebih tinggi, disanggupi oleh 50 persen pelanggan, dan kesediaan membayar 30 persen lebih tinggi disanggupi oleh 40 pelanggan. Bayangkan laba yang dapat dipetik oleh pemilik merek kuat. Padahal keleluasaan laba yang diperoleh dapat dinvestasikan kembali untuk memperkuat merek, memperluas merek atau meluncurkan produk baru. Dan yang terpenting, 70% pelanggan menggunakan merek sebagai petunjuk dalam membuat keputusan pembelian. Berbagai pilihan yang ada menyebabkan pelanggan harus berfikir dan tidak yakin terhadap proses pembelian merek yang baru dikenalnya. Merek merupakan jalan pintas bagi pelanggan untuk membimbing mengambil keputusan pembelian yang penting.
Merek adalah nama dan atau simbol yang bersifat membedakan (seperti sebuah logo, cap, atau kemasan) dengan maksud mengidentifikasikan barang atau jasa dari seorang penjual tertentu, dengan demikian membedakannya dari barangbarang dan jasa yang dihasilkan para kompetitor. Aaker (1997)
Kotler (1993) mendefinisikan merek sebagai berikut: Merek merupakan suatu nama, istilah, tanda, simbol, atau desain atau kombinasi dari semuanya yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi produk atau jasa dari seorang penjual atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk atau jasa pesaing
Duane E Knapp, menyatakan bahwa Brand adalah keseluruhan impresi yang diterima oleh konsumen, selanjutnya dipersepsikan berdasarkan manfaat funsional dan emosional, sehingga impresi tersebut tertanam pada posisi tertentu dalam benaknya.
Brand dinilai sebagai Aset bagi suatu perusahaan. Dari perspective kebijakan product, Brand Value (atau Equity) adalah outcome yang didesain membangun investasi jangka panjang yang berkelanjutan , keunggulan relative yang berbeda terhadap competitor, (Doyle,1990)
Suatu merek pada gilirannya memberi tanda pada konsumen mengenai sumber produk tersebut, kualitas produk, kelebihan-kelebihan produk, dan melindungi konsumen maupun produsen dari para pesaing yang berusaha memberikan produk-produk yang tampak identik. Defenisi tersebut di atas juga menunjukkan bahwa begitu pentingnya arti dan keberadaan sebuah merek. Merek memegang peranan sangat penting, salah satunya adalah menjembatani harapan konsumen pada saat kita menjanjikan sesuatu kepada konsumen.
Dengan demikian dapat diketahui adanya ikatan emosional yang tercipta antara konsumen dengan perusahaan penghasil produk melalui merek. Pesaing bisa saja menawarkan produk yang mirip, tapi mereka tidak mungkin menawarkan janji emosional yang sama
Merek menjadi sangat penting saat ini, karena beberapa faktor seperti:
  1. Emosi konsumen terkadang turun naik. Merek mampu membuat janji emosi menjadi konsisten dan stabil.
  2. Merek mampu menembus setiap pagar budaya dan pasar. Bisa dilihat bahwa suatu merek yang kuat mampu diterima diseluruh dunia dan budaya. Contoh yang paling fenomenal adalah Coca Cola yang berhasil menjadi “Global Brand”, diterima dimana saja dan kapan saja di seluruh dunia.
  3. Merek mampu menciptakan komunikasi interaksi dengan konsumen. Semakin kuat suatu merek, makin kuat pula interaksinya dengan konsumen dan makin banyak Asosiasi Merek yang terbentuk dalam merek tersebut. Jika Asosiasi Merek yang terbentuk memiliki kualitas dan kuantitas yang kuat, potensi ini akan meningkatkan Citra Merek.
  4. Merek sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku konsumen. Merek yang kuat akan sanggup merubah perilaku konsumen.
  5. Merek memudahkan proses pengambilan keputusan pembelian oleh konsumen. Dengan adanya merek, konsumen dapat dengan mudah membedakan produk yang akan dibelinya dengan produk lain sehubungan dengan kualitas, kepuasan, kebanggaan ataupun atribut lain yang melekat pada merek tersebut.
  6. Merek berkembang menjadi sumber aset terbesar bagi perusahaan. Hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa Coca Cola Company yang memiliki Stock Market Value (SMV) yang besar ternyata 97 % dari SMV tersebut merupakan nilai merek.
Merek memang telah mengalami metamorfosis. Dahulu merek merupakan suatu bentuk perlindungan konsumen, yang memberikan garansi terhadap realibilitas dan kualitas. Dalam perkembangannya peran merek telah meluas dan mengalami perubahan. Merek bukan sekedar tanda, tetapi sudah mencerminkan suatu gaya hidup. Misalnya sebotol kecil air minum dalam kemasan dengan merek yang kurang dikenal dijual dengan harga 600 rupiah, tetapi di hotel atau restoran harga sebotol Perrier dapat mencapai 50 kali lipatnya. Perusahaan mengeksploitasi kebutuhan emosional untuk membeli mereknya dan membayar lebih dari kompetitornya.
Contoh yang lebih gamblang mengenai betapa besarnya nilai merek bagi perusahaan adalah pemberian lisensi. Sunkist pada tahun 1988 menerima 10,3 juta dolar AS dalam bentuk royalti atas pemberian merek lisensi-Fruit Gems (permen Ben Myerson), soda jeruk Sunkist (Cadbury Schweppes), minuman jus Sunkist (Lipton), Sunkist Vitamin C (Ciba-Geigy) dan kudapan Sunkist (Lipton).
Pada awalnya merek hanyalah sebuah nama untuk membedakan (brand name). Pada awal abad ke-16, sejumlah produsen penyulingan wiski mengirimkan produk-produknya dalam tong-tong kayu yang ditempeli nama pembuatnya. Nama itu menunjukkan pada konsumen siapa pembuatnya dan mencegah substitusi dari produk-produk yang lebih murah. Pada tahun 1835 sebuah merek minuman Scotch yang bernama Old Smuggler diperkenalkan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari reputasi kualitasnya sebagai produsen yang menggunakan proses penyulingan khusus.
Pada perkembangan selanjutnya merek adalah sebuah nama yang dianggap mewakili sebuah obyek. Misalnya Honda dianggap mewakili sepeda motor, Odorono sebagai wakil dari deodorant, Dop untuk bola lampu dan Odol untuk pasta gigi. Berikutnya merek dianggap sebagai sebuah simbol, dan kemudian berkembang menjadi image. Rokok Dji Sam Soe mencerminkan kejantanan, Volvo mencerminkan keamanan, dan Mercedes mencitrakan kemewahan.
Jadi makna merek dalam konteks masa kini bukanlah sekedar brand name tetapi sudah berkembang lebih jauh. Knapp mengatakan terdapat tiga sifat fundamental yang membedakan suatu merek sejati dalam pikiran konsumen: internalisasi kesan-kesan, posisi khusus dalam mata pikiran konsumen, serta manfaat emosional dan fungsional yang dirasakan. Pada akhirnya merek bukan apa yang dibuat di pabrik, tercetak di dalam kemasan atau apa yang diiklankan oleh pemasar, tetapi apa yang ada di dalam pikiran konsumen.
Benak konsumen setiap hari dibanjiri oleh informasi yang mempengaruhi kesan dan bersifat dinamis. Sehingga seperti apa yang dikemukakan oleh Duncan dan Morriarty diperlukan strategic consistency dalam komunikasi pemasaran. Strategic consistency ini harus tercermin dalam segala sisi organisasi sehingga konsumen menangkap kesan terhadap segala aspek dari organisasi mulai dari identitas visual, produk dan kemasan serta perilaku yang ditampilkan oleh anggota organisasi secara bulat. Konsistensi itu bukan hanya masalah komunikasi tetapi juga kualitas produk maupun kualitas layanan. Jadi sebuah merek agar dapat menjadi merek yang sebenarnya dalam konteks kompetisi masa kini, haruslah didukung secara lintas fungsional oleh seluruh anggota organisasi. Dengan demikian merek bukan hanya sekedar image tetapi telah menjadi cermin gejala internal dan eksternal organisasi.
Diferensiasi harus difokuskan kepada manfaat-manfaat yang dibutuhkan oleh pelanggan, dan bukan kepada proses produksi yang berhubungan dengan produk atau jasa. Fokus utama pelanggan adalah manfaat apa yang saya peroleh dari pembelian sebuah merek. Proses panjang yang terlibat dalam merek tidak berarti apapun bagi seorang konsumen, kecuali jika mengkomunikasikan manfaat yang dapat diterima secara jelas oleh konsumen dan dianggap penting. Di sini keunikan (uniqueness) memegang peranan yang utama. Dalam konsep merek yang klasik suatu merek mewakili sebuah produk sekaligus mewakili satu janji kepada konsumen atau satu manfaat yang diberikan kepada pelanggan. Dalam konsep ini merek memiliki berbagai keterbatasan, karena konsekuensinya untuk melayani berbagai kebutuhan pelanggan atau pelanggan dengan tipe yang berbeda dibutuhkan sejumlah merek. Tetapi pada saat ini kebutuhan yang beragam ini dapat dipenuhi melalui perluasan merek (brand extension).
Dalam mengembangkan merek yang powerful penting untuk dipahami karakter merek yang dapat dipilah menjadi tiga kelompok besar, yaitu merek fungsional, merek citra, dan merek eksperensial. Merek produk berkembang menjadi sumber aset terbesar dan merupakan faktor penting dalam kegiatan pemasaran perusahaan. Hermawan Kertajaya (2004) mengungkapkan bahwa merek merupakan indikator nilai (Value) suatu produk. Nilai bagi konsumen adalah perolehan Manfaat Fungsional, dan Emosional. Manfaat fungsional adalah manfaat langsung berkaitan dengan fungsi-fungsi yang diciptakan oleh suatu produk. Sedangkan manfaat emosional adalah manfaat yang diperoleh berupa stimulasi terhadap emosi dan perasaannya.
Merek fungsional terutama berkaitan dengan manfaat fungsional (functional benefit) sehingga sangat terkait dengan asosiasi-asosiasi yang dikaitkan dengan atribut-atribut fungsional. Rinso dan Pepsodent merupakan contoh dari kategori ini. Pada merek fungsional ini sangat mengutamakan kinerja produk dan nilai ekonomisnya. Penentu pergeserannya terletak pada 3P yaitu, product, place, dan price. Sehingga kualitas produk, harga yang kompetitif, dan ketersediaannya di dalam saluran distribusi sangat menentukan. Pola pengambilan keputusan konsumen terhadap merek jenis ini relatif rendah, tanpa pertimbangan yang mendalam dan jika merek tersebut tidak tersedia konsumen lebih mudah mengalihkan kepada merek substitusi. Sehingga ciri khas pengelolaan merek jenis ini adalah selalu memelihara superioritas.
Merek citra (image brands) terutama untuk memberikan manfaat ekspresi diri (self expression benefit), seperti Mount Blanc, Mercedes Benz. Sebagai merek yang bertujuan untuk meningkatkan citra pemakainya, merek ini haruslah mempunyai kekuatan untuk membangkitkan keinginan. Faktor komunikasi memegang peranan utama dalam mengelola merek jenis ini. Sebagai merek yang memberi manfaat ekspresi diri, menjadikan konsumen dalam proses pengambilan keputusan memiliki keterlibatan yang tinggi (high envolvement). Kemewahan, keagungan (heritage), keindahan merupakan ciri khas yang ditampilkan dalam pengelolaan merek ini.
Merek eksperensial (experiential brands) terutama untuk memberikan manfaat emosional. Disney, Singapore Airlines termasuk didalamnya. Kekuatannya tergantung kemampuannya untuk memberikan pengalaman yang unik kepada pelanggan, sehingga pelanggan merasa terkesan dan merasakan perbedaannya dengan kompetitor. Faktor yang menentukan adalah 2P yaitu, place dan people. Place adalah tempat atau sarana untuk memberikan pengalaman yang dapat dirasakan oleh pelanggan (wahana-Disneyland, pesawat-Singapore Airlines) dan people adalah bagaimana segenap karyawan memberikan layanan (service delivery) kepada pelanggan. Pola pengambilan keputusan terhadap pemilihan merek ini mempunyai keterlibatan yang tinggi. Kunci untuk mengelola merek ini adalah konsistensi dan kepuasan

II. Ekuitas Merek
Mengembangkan merek yang kuat, ternyata bersentuhan dengan semua aspek organisasi, karena definisi merek itu sendiri telah mengalami pergeseran. Dari sekedar nama atau tanda yang mewakili produk, maknanya meluas menjadi cerminan kondisi internal dan eksternal organisasi. Penting pula dilakukan pendekatan pemasaran berdasarkan merek (brand-based marketing), yang intinya adalah upaya-upaya pemasaran terpadu untuk mengelola keterkaitan merek dengan segenap stakeholders untuk menjaga konsistensi strategi dalam komunikasi dalam rangka meningkatkan ekuitas merek.
Ekuitas merek menurut Aaker (1997) adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek, nama dan simbol yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah barang atau jasa kepada perusahaan atau para pelanggan perusahaan.
Kevin Lane Keller, pengarang Strategi Manajemen Merek memberikan batasan bahwa ekuitas merek diartikan sebagai “pengaruh perbedaan atas pengetahuan merek yang ada pada konsumen dalam menanggapi pemasaran merek tersebut.”
Ekuitas berarti nilai. Nilai sebuah merek sebenarnya didapatkan dari kata-kata dan tindakan konsumennya. Keputusan pembelian konsumen didasarkan pada faktor-faktor yang menurut mereka penting, semakin banyak faktor yang dinilai penting maka merek tersebut dapat dikatakan sebagai merek yang bernilai.
Kotler (1993) memberikan definisi dari sudut pandang psikologi kognitif, menurutnya customer-based brand equity (CBBE) sebagai efek deferensial pengetahuan konsumen tentang merek pada respon konsumen terhadap pemasaran sebuah merek. Definisi tersebut menunjukkan bahwa nilai sebuah merek bagi perusahaan diciptakan melalui konsumen. Aktivitas konsumen dalam pembelajaran dan proses keputusan pembeliannya dapat membentuk dan mendorong terbentuknya brand equity. Dengan kata lain sumber brand equity adalah ketika konsumen menyadari keberadaan merek dan memiliki asosiasi merek yang unik, kuat dan cenderung positif.
Maka secara umum, customer-based brand equity adalah nilai tambah bagi perusahaan, perdagangan dan konsumen pada merek sebuah produk tertentu atau secara singkat dapat diartikan sebagai perbedaan nilai antara produk bermerek dan produk tidak bermerek bagi konsumen. McQuenn (1991) dalam, Erdem et, al (1999). Menurut Anselmon et,al. (2005) ekuitas merek mengandung 5 pertimbangan penting yaitu :
  1. Berhubungan dengan persepsi konsumen bukan indikator-indikator obyektif.
  2. Merupakan impresi global dari nilai yang dihubungkan dengan nama merek.
  3. Ditumbuhkan dari nama merek dan bukan hanya atribut-atribut fisik saja.
  4. Harus dibandingkan dengan merek pesaing.
  5. Mempengaruhi keuangan ekuitas merek secara positif.
Merek lebih dari sekedar nama, termasuk juga didalamnya elemen-elemen seperti logo, symbol, kemasan dan slogan, Elemen manakah yang harus dipilih oleh perusahaan untuk membangun brand equity ?
Keller (2003) mengajukan beberapa kriteria dalam memilih dan merancang elemen-elemen merek untuk membangun brand equity yaitu:
  1. Mudah diingat
  2. Memiliki arti tertentu
  3. Mengandung daya tarik secara estetika
  4. Dapat digunakan baik untuk maupun dalam kategori produk, lintas geografis dan budaya serta segmen pasar
  5. Mudah diadaptasi dan fleksibel sepanjang waktu
  6. Terlindungi secara hokum dari pesaing
Merek sebagai asset maka sifatnya adalah intangible asst, lalu bagaimana cara untuk membangun, mengukur dan mengatur brand equity ? Pemasar dapat menggunakan salah satu dari 3 perspektif berikut ini (Kapferer, 2005, Keller, 2003) :
  1. Customer based
  2. Company based
  3. Financial based
Meskipun terdapat 3 perspektif cara membangun, mengukur dan mengatur brand equity namun ketiganya memiliki inti yang sama yakni fokusnya baik secara eksplisit maupun implisit ada pada struktur brand knowledge dalam pikiran konsumen dan ini merupakan dasar dari brand equity.
Pada level konsumen, brand equity secara garis besar dapat digambarkan pada 5 aspek yang membentuk hierarki atau rantai dimulai dari yang terendah hingga level tertinggi (Keller et al, 2004) yaitu:
  1. Awareness
  2. Associations
  3. Attitude
  4. Attachment
  5. Activity
Konsep ekuitas merek dapat dilihat pada gambar di bawah ini, dimana memperlihatkan bahwa ekuitas merek dapat menciptakan nilai baik bagi pelanggan maupun bagi perusahaan.
Terdapat dimensi-dimensi dalam mengukur brand equity, Agarwal dan Ran (1996) dan Mackay (2001) (dalam Rajagopal, 2005) merangkum perkembangan dimensi-dimensi brand equity mulai dari pendapat AAker (1991) hingga Yon dan Donthu (2001) pada Tabel 1. Meskipun terdapat perbedaan dimensi namun pada intinya materinya adalah awareness, image, loyalty, dan equity.
Ekuitas Merek merupakan aset yang dapat memberikan nilai tersendiri dimata pelanggannya. Aset yang dikandungnya dapat membantu pelanggan dalam menafsirkan, memproses, dan menyimpan informasi yang terkait dengan produk dan merek tersebut. Ekuitas Merek dapat mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam pengambilkan keputusan pembelian atas dasar pengalaman masa lalu dalam penggunaan atau kedekatan asosiasi dengan berbagai karakteristik merek.
Menurut Aaker (2001), ekuitas merek dapat dikelompokkan dalam 5 elemen:
  1. Kesadaran Merek (Brand Awareness)
  2. Asosiasi Merek (Brand Associations)
  3. Persepsi Kualitas (Perceived Quality)
  4. Loyalitas merek (Brand Loyalty)
  5. Aset-aset hak milik merek yang lain, mewakili aset merek seperti paten, dan saluran distribusi.

Kesadaran Merek (Brand Awareness)
Aaker (2001) mendefinisikan kesadaran merek adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori merek tertentu.
Kesadaran merek adalah kesanggupan seorang pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Kesadaran merek membutuhkan jangkauan kontinum (continuum ranging) dari perasaan yang tak pasti bahwa merek tertentu telah dikenal dan menjadi keyakinan bahwa produk tersebut merupakaan satusatunya dalam kelas produk yang berada pada kategorinya.
Jangkauan kontinum ini diwakili oleh 4 tingkat kesadaran merek, yaitu :
  1. Top of Mind (puncak pikiran). Yaitu merek produk yang pertama kali disebutkan oleh konsumen secara spontan dan menempati tempat khusus/istimewa dibenak konsumen.
  2. Brand recall (pengingatan kembali merek).Mencerminkan merek–merek apa saja yang diingat konsumen setelah menyebutkan merek yang pertama kali disebut. Dimana merek-merek yang disebutkan kedua, ketiga dan seterusnya merupakan merek yang menempati brand recall dalam benak konsumen.
  3. Brand Recognition (pengenalan merek).Merupakan tingkat minimal dari kesadaran merek yang merupakan pengenalan merek dengan bantuan, misalnya dengan bantuan daftar merek, daftar gambar, atau cap merek. Dan merek yang masuk dalam ingatan konsumen disebut brand recognition.
  4. Unware of Brand (tidak menyadari merek)Merupakan tingkatan merek yang paling rendah dalam piramida brand awareness, dimana konsumen tidak menyadari akan eksistensi suatu merek.
Peran brand awareness terhadap brand equity dapat dipahami dengan membahas bagaimana brand awareness menciptakan suatu nilai. Penciptaan nilai ini dapat dilakukan dengan banyak cara, antara lain :
  1. Anchor to other association which can be attached. Pada dasarnya suatu merek dapat memiliki hubungan dengan hal-hal lain.
  2. Familiarity–liking.Suatu upaya mengenalkan sebuah merek dengan cara menimbulkan suatu hal yang familiar. Suatu kebiasaan dapat menimbulkan keterkaitan kesukaan yang kadang-kadang dapat berpengaruh dalam membuat keputusan.
  3. Substance/commitment.Kesadaran akan merek dapat menandakan keberadaan, komitmen, dan inti yang sangat penting bagi suatu perusahaan.
  4. Brand to consider. Penyeleksian suatu kelompok merek yang telah dikenal sebagai suatu upaya mempertimbangkan merek mana yang akan diputuskan untuk digunakan. Keputusan pemilihan ini biasanya dipengaruhi oleh ingatan konsumen terhadap merek yang paling diingat.
Asosiasi Merek (Brand Association)
Menurut Aaker (2001) asosiasi merek adalah segala sesuatu yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan ingatan konsumen terhadap suatu merek. Ditambahkan oleh Susanto (2004) hal-hal lain yang penting dalam asosiasi merek adalah asosiasi yang menunjukan fakta bahwa produk dapat digunakan untuk mengekspresikan gaya hidup, kelas sosial, dan peran professional atau, yang mengekspresikan asosiasi-asosiasi yang memerlukan aplikasi produk dan tipe-tipe orang yang menggunakan produk tersebut, toko yang menjual produk atau wiraniaganya.
Dheni Haryanto (2009) menyatakan: brand association merupakan segala kesan yang muncul dan terkait dengan ingatan konsumen mengenai suatu merek. Brand association mencerminkan pencitraan suatu merek terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan kebiasaan, gaya hidup, manfaat, atribut, produk, geografis, harga, pesaing, selebriti dan lain-lainnya. Suatu merek yang telah mapan sudah pasti akan memiliki posisi yang lebih menonjol daripada pesaing, bila didukung oleh assosiasi yang kuat.
Berbagai brand association yang saling berhubungan akan membentuk suatu rangkaian yang disebut brand image, semakin banyak assosiasi yang saling berhubungan, maka semakin kuat brand image yang dimiliki merek tersebut. Image merek yang baik sangatlah penting dimata konsumen, karena dapat menjadi value added dalam pengambilan keputusan pemilihan merek.
Fungsi brand association dalam pembentukan brand equity adalah sebagai berikut :
  1. Membantu penyusunan informasi merek.
  2. Membedakan merek tersebut dengan merek lainnya.
  3. Sebagai alasan konsumen untuk membeli
  4. Menciptakan sikap positif terhadap merek tersebut.
  5. Sebagai landasan untuk melakukan brand expansion.
Lebih lanjut Aaker (1991) menjelaskan bahwa asosiasi-asosiasi yang terkait dengan suatu merek dapat dihubungkan dengan berbagai hal berikut :
Kesan Kualitas (Perceived Quality)
Menurut Susanto (2004), kesan kualitas dapat didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keungulan suatu produk atau jasa berkenaan dengan maksud yang diharapkan. Lebih lanjut, menurut Aaker (2001), apabila kesan kualitas adalah untuk dimengerti dan diatur, maka penting untuk mengetahui dimensi-dimensi yang mempengaruhi kesan kualitas produk dan kualitas jasa, yaitu:
1. Kualitas produk, terbagi menjadi:
a. Performance–karakteristik operasional produk yang utama.
b. Features–elemen sekunder dari produk atau bagian tambahan dari produk.
c. Conformance with specifications–tidak ada produk yang cacat.
d. Reliability–konsistensi kinerja produk.
e. Durability–daya tahan sebuah produk.
f. Serviceability–kemampuan memberikan pelayanan sehubungan dengan produk.
g. Fit and finish–menunjukkan saat munculnya atau dirasakannya kualitas produk.
2. Sedangkan dimensi kualitas jasa menurut Zeithaml & Bitner (2003), terbagi menjadi 5 aspek, antara lain:
a. Reliability–kemampuan menampilkan pelayanan yang diandalkan dan akurat.
b. Responsiveness–kesediaan membantu dan menyediakan layanan yang cepat.
c. Assurance–pengetahuan dan kemampuan karyawan untuk menumbuhkan keyakinan konsumen terhadap pelayanan penyedia jasa.
d. Empathy–menunjukkan perhatian perusahaan terhadap konsumennya.
e. Tangibles–tampilan dari fasilitas fisik, peralatan, personil/karyawan.

Kesetiaan Merek (Brand Loyalty)
Menurut Ford (2005), loyalitas merek dapat dilihat dari seberapa sering orang membeli merek itu dibandingkan dengan merek lainnya.
Susanto (2004) menjelaskan tentang tingkatan loyalitas terhadap merek yaitu :
  1. Tingkatan yang paling dasar adalah pembeli tidak loyal, yang sama sekali tidak tertarik pada merek tersebut dan bagi mereka merek apapun dianggap memadai sehingga merek memainkan peran yang kecil dalam keputusan pembelian (Switcher).
  2. Tingkat kedua adalah para pembeli yang puas dengan produk atau setidaknya tidak mengalami kepuasan, tipe ini bisa disebut sebagai pembeli kebiasaan (habitual buyer).
  3. Tingkat ketiga berisi orang-orang yang puas (Satisfied Buyer), namun mereka memikul biaya peralihan (switching cost) serta biaya berupa waktu, uang atau resiko kinerja berkenaan dengan tindakan beralih merek, kelompok ini bisa disebut pelanggan yang loyal terhadap biaya peralihan.
  4. Tingkat keempat adalah mereka yang sungguhsungguh menyukai merek tersebut (Liking the Brand), preferensinya mungkin dilandasi oleh suatu asosiasi seperti simbol, rangkaian pengalaman dalam menggunakan atau persepsi kualitas yang tinggi.
  5. Tingkat teratas adalah pelanggan yang setia (Committed Buyer), mereka mempunyai kebanggaan menjadi pengguna suatu merek, merek tersebut sangat penting bagi mereka, baik dari segi fungsinya maupun sebagai ekspresi diri mereka. (Susanto, 2004).
Beberapa fungsi yang dapat diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan yaitu:
  • Mengurangi biaya pemasaran.
  • Meningkatkan perdagangan.
  • Menarik minat pelanggan baru.
  • Memberi waktu untuk merespon ancaman pesaing.
Menurut Durianto Darmadi - Sugiarto - Tony Sitinjak (2001) disamping memberi nilai bagi konsumen, Ekuitas Merek juga memberikan nilai bagi perusahaan dalam bentuk :
  1. Ekuitas Merek yang kuat dapat mempertinggi keberhasilan program dalam memikat konsumen baru atau merangkul kembali konsumen lama. Promosi yang dilakukan akan lebih efektif jika merek dikenal. Ekuitas Merek yang kuat dapat menghilangkan keraguan konsumen terhadap kualitas merek.
  2. Empat dimensi Ekuitas Merek: Kesadaran merek, Kualitas yang dipersepsikan atas merek, Asosiasi-asosiasi merek, dan loyalitas merek dapat mempengaruhi alasan pembelian konsumen. Bahkan jika Kesadaran merek, Kualitas yang dipersepsikan atas merek, dan Asosiasi-asosiasi merek tidak begitu penting diperhatikan dalam proses pemilihan merek, ketiganya tetap dapat mengurangi keinginan atau rangsangan konsumen untuk mencoba merek-merek lain.
  3. Loyalitas merek yang telah diperkuat merupakan hal penting dalam merespon inovasi yang dilakukan para pesaing. Loyalitas merek adalah salah satu elemen Ekuitas Merek yang dipengaruhi oleh elemen ekuitas merek lainnya.
  4. Asosiasi Merek juga sangat penting sebagai dasar penciptaan Kesan Merek yang kuat dan strategi perluasan produk.
  5. Salah satu cara memperkuat Ekuitas Merek adalah dengan melakukan promosi besar-besaran yang membutuhkan biaya besar. Ekuitas Merek yang kuat memungkinkan perusahaan memperoleh imbuhan nilai yang lebih tinggi dengan menerapkan harga premium, dan mengurangi ketergantungan pada promosi sehingga dapat diperoleh laba yang lebih tinggi.
  6. Ekuitas Merek yang kuat dapat digunakan sebagai dasar untuk pertumbuhan dan perluasan merek kepada produk lainnya atau menciptakan bidang bisnis baru yang terkait yang biayanya akan jauh lebih mahal untuk dimasuki tanpa merek yang memiliki Ekuitas Merek tersebut.
  7. Ekuitas Merek yang kuat dapat meningkatkan nilai penjualan karena mampu menciptakan loyalitas saluran distribusi. Produk dengan Ekuitas Merek yang kuat akan dicari oleh pedagang karena mereka yakin bahwa produk dengan merek tersebut akan memberikan keuntungan bagi mereka. Dengan Ekuitas Merek yang kuat, saluran distribusi dapat berkembang sehingga semakin banyak tempat penjualan yang pada akhirnya akan memperbesar nilai/volume penjualan produk tersebut, dan mempertinggi perolehan pangsa pasar.
  8. Aset-aset Ekutias Merek lainnya dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan dengan memanfaatkan celah-celah yang tidak dimiliki pesaing. Biasanya, bila empat faktor penentu utama dari Ekuitas Merek yaitu Kesadaran Merek, Asosiasi Merek, Kualitas Merek, dan Loyalitas Merek sudah sangat kuat, secara otomatis aset Ekuitas Merek lainnya juga akan kuat.

III. Ekuitas Pelanggan.
Ekuitas pelanggan (Customer Equity) pertama kali di cetuskan dalam sebuah artikel di Harvard Business Review berjudul “Manage Marketing by the Customer Equity Test” yang ditulis oleh Blattberg & Deighton (1996). Blattberg & Deighton (1996), mendefinisikan customer Equity adalah “the total of the discounted lifetime values summed over all of the firm’s customer”. Asumsi dasar customer equity adalah bahwa pelanggsan merupakan aset finansial yang harus diukur, dikelola dan dimaksimalkan oleh setiap perusahaan atau organisasi, sama halnya dengan aset-aset lainnya.
Terdapat dua alasan fundamental bagi perusahaan untuk bergerak ke arah pendekatan ekiutas pelanggan. Pertama, beberapa teknologi baru yang kritis yang dikonversikan untuk membuat manajemen berdasarkasn aset pelanggan mudah dijangkau. Yang kedua, kapabilitas teknologi yang sama, bersamaan dengan perubahan lain dalam kerja pasar pada turbulensi lingkungan bisnis, menjadikannya suatu tuntutan bagi bagian pemasaran untuk memaksimalkan nilai aset pelanggan perusahaan
Enam perubahan dasar terhadap strategi pemasaran :
  1. Strategi pemasaran, taktik dan alasan membuat pelanggan menjadi pusatnya dan bukan produk itu sendiri.
  2. Perusahaan mengatur siklus hidup pelanggan. Bagian pemasaran membaurkan berbagai variasi dengan tahapan-tahapan siklus hidup pelanggan.
  3. Perusahaan membuat suatu portofolio keseimbangan seimbang pada akusisi, retensi dan penjualan tambahan.
  4. Hasil yang didapatkan bagian pemasaran perusahaan dapat dihitung dengan menggunakan pengukuran ekuitas pelanggan dan biayanya dihubungkan dengan pengembalianpendapatan.
  5. Perusahaan mengkomunikasikan perubahan pada nilai aset pelangannya mellaui pernyataan aliran ekuitas pelanggan. Perusahaan mengukur aset pelanggannya melalui nilai siklus hidup.
  6. Perusahaan mengorganisasikan akusisi, retensi dan penjualan produk tambahan pada pelanggan
Organisasi yang menggunakan ekuitas pelanggan sebagai keuntungan sistem pemasaran karena mereka dapat melakukan hal-hal:
  1. Menghitung nilai aset pelangan untuk membuat keputusan yang sarat informasi
  2. Memperbaiki level investasi sebagaimana hubungan pelanggan bergerak melalui siklus hidup mereka yang dinamis.
  3. Mengorganisasikan proses dan struktur antara akusisi, retensi dan penjualan produk tambahan untuk memaksimalkan profitabilitas masing-masing dalam siklus hidup pelanggan
  4. Membidik pelanggan utuh yang membeli dan menggunakan aneka produk dan jasa.
  5. Utilisasi interaksi pelanggan untuk mempertahankan hubungan dengan pelanggan lama dan mendapatkan pelanggan baru.
Lebih lanjut, dalam perusahaan yang berorientasu pada customer equity, elemen-elemen aktivitas pemasaran difokuskan pada aspek yang berbeda. Kualitas dan layanan berperan sebagai alat retensi pelanggan. Pesan iklan dimaksudkan untuk membangun afinitas antara pelanggan dan perusahaan, sedangkan promosi penjulanan berfungsi sebagai event strategis yang dirancang untuk menstimulasi pembelian ulang dan meningkatkan nilai relasi seumur hidup (lifetime relationship value). Produk baru mencerminkan peluang saat ini untuk melakukan cross-selling kepada para pelanggan saat ini. Pemahaman langsung atas karakteristik dan perilaku pembelian pelanggan individual merupakan aspek krusial dalam ancangan customer equity.
Untuk mewujudkan pertumbuhan berbasis pasar secara simultan dengan peningkatan profitabilitas da return on investment (ROI) investasi pemasaran maka dibutuhkan Customer Equity Management (CEM). Customer Equity Management adalah sistem pemasaran yang terintegratif dan dinakis yang memanfaatkan teknik-teknik penilaian finansial dan data mengenai pelanggan untuk mengoptimalkan akusisi, retensi dan penjualan produk-produk tembahan kepada para pelanggan perusahaan (Blattberg, Getz & Thomas, 2001). Konsep CEM berakar pada sejumlah literatur dan bidang riste, seperti direct marketing, kualitas jasa, relationship marketing, dan brand equity (Hogan, lemon & Rust, 2002; dalam Fandy Tjiptono, 2005).
Sebenarnya berbagai konsep terkait dengan CEM bukanlah konsep baru (misalnya, pengukuran customer lifetime value dan manajemen retensi pelanggan), ancangan integratif ekuitas pelanggan memberikan wawasan baru dalam pemahaman relasi pelanggan jangka panjang. Bila selama ini tren manajerial cenderung berfkus pada salah satu diantara manajemen iaya atau pertumbuhan pendapatan, CEM justru berusaha menyeimbangkan keduanya.
Dengan demikian memberlakukan pelanggan sebagai aset berbeda secara signifikan dengan memperlakukan ekuitas merek (brand equity) sebagai aset utama pemasaran. Meskipun customer equity dan brand equity berkait erat, keduanya memiliki tujuan yang berbeda. Orientasi merek bertujuan memaksimumkan pendapatan total sebuah merek dan mendapatkan return sebesar mungkin dari investasi merek. Sedangkan orientasi aset pelanggan berfokus pada aliran pendapatan bersih masa depan keseluruhan dari semua merek dan jasa/layanan yang dihasilkan.
Manajemen ekuitas pelanggan bergantung pada empat pilar utaman untuk memaksimalkan nilai pelanggan sebagai aset finansial, yaitu:
  • Mengatur siklus hidup pelanggan
  • Mengeksploitasi kekuatan database
  • Menghitung nilai pelangan secara tepat
  • Mengoptimalisasi bauran akusisi, retensi dan penjualan produk tambahan pada pelanggan
Empat pilar dari pengaturan ekuitas pelanggan memberikan suatu struktur yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk menargetkan, mengkultivasi dan memusatkan pada nilai pelanggan. Jika salah satu di antaranya hilang, sistem pemasaran akan melemah. Suatu perusahaan dapat memilih untuk mengimplementasikan metode ini dalam jangka waktu pendek namun dalam jangka panjang harus mengadopsi keseluruhannya untuk dapat sukses.
Siklus Hidup Pelanggan
Pengaturan manajemen ekuitas pelanggan memahami bahwa hubungan pelanggan dan perusahaan berubah dari waktu ke waktu. Mereka yang berprospek menjadi pelanggan, pembeli baru dan pelanggan lama tidak memiliki kebutuhan yang sama. Konsep siklus hidup memberikan suatu kerangka kerja untuk memahami dan mengatur perbedaan ini.
Tahap 1: Yang Prospek Menjadi Pelanggan
Mereka yang prospek menjadi pelanggan belum menjadi pelanggan, namun mereka merepresntasikan nilai potensial (prospek berkualitas tinggi sangat penting). Perusahaan harus mengatur klien ini sebagai pelanggan lama mereka. Dinyatakan bahwa mereka yang berprospek menjadi pelanggan ini menimbulkan masalah yang unik. Apakah mereka harus diberikan harga di bawah harga normal yang diberikan pada pelanggan yang telah ada. Level penjualan apa yang harus mereka terima? Tipe komunikasi apa yang harus ditawarkan pada mereka sesuai dengan kualitas dan nila penawaran perusahaan?
Pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting, seringkali dalam cara yang tidak diharapkan oleh perusahaan. Misalnya, komunikasi pemasaran yang menimbulkan ekspektasi yang terlalu tinggi. Sebuah perusahaan yang menimbulkan kekecewaan berakhir dengan tingkat akusisi yang tinggi namun dengan tingkat retensi yang rendah. Sedikit sekali perusahaan yang menenali bahwa taktik perusahaan yang digunakan tahap pengenalan memiliki reperkusi melalui hubungan perusahaan dengan pelanggan.
Selama tahap prospek, pelanggan mengembangkan suatu perangkat inisial ekspektasi mengenai produk atau jasa. Jika ekspektasi ini terpenuhi oleh kualitas produk atau jasa, maka mereka akan melakukan pembelian pertama. Kualitas produk yang telah digunakan oleh pelanggan bersamaan dengan komunikasi pemasarannya, mendeterminasi kualitas produk. Kualitas produk yang telah digunakan oleh pelanggan, bersamaan dengan komunikasi pemasaran, mendeterminasi kualitas produk. Pelangan juga mempertimbangkan harga, sehingga produk yang ditawarkan harus memenuhi nilai ekspektasi pelanggan
Tahap 2: Pembeli Pertama
Pelanggan sampai pada tahap ini setelah melakukan satu kali pembelian. Pelanggan baru ini biasanya memiliki tingkat retensi yang paling rendah pada dasar pelanggan perusahaan. Meskipun mereka telah memberikan sinyal bahwa produk perusahaan memenuhi ekspektasi mereka, mereka masih dalam tahapan evaluasi. Mereka harus mempelajari apakah level pelayanan pelanggan dan produk ynag dibeli memenuhi ekspektasi mereka.
Jika produk memenuhi ekspektasi mereka dan berada di atas kualitas rata-rata produk, pelanggan akan terus melakukan pembelian dan terpuaskan sepanjang nilai produk terpelihara. Jika produk tidak memenuhi ekspektasi mereka, pelanggan akan berhenti melakukan pembelian dan defeksi. Selama masa pembelian yang cepat ini, satu kali kegagalan produk saja dapat menyebabkan penolakan pelanggan.
Beberapa produk dan pelanggan memiliki siklus pembelian yang lama, yang membuat pengulangan pembelian oleh pelanggan pad tahap ini agak sedikit kurang penting. Dalam industri yang dikarakterisasi oleh siklus pembelian yang pendek dan pembelian ulang yang sering seperti pelayanan udara ekpres, penyediaan untuk pemeliharaan industrial dan pengepakan kebutuhan pelanggan, nilai masa depan yang potensial bagi pelanggan yang pertama kali melakukan pembelian secara signifikan mengutamakan ekuitas pelangan. Untuk bisnis ini, pengkonversian pelanggan pada pembeli yang berulang dan inti pelanggan sangat penting.
Tahap 3: Pembeli yang Melakukan Pembelanjaan Berulang Awal
Pelanggan akan masuk pada tahap ini setelah melakukan satu kali pembelian ulang. Pelanggan ini cenderung untuk melakukan pembelian lagi daripada mereka yang melakukan pembelian pertama kali dan penjualan per pelanggan meningkat sebagaimana mereka lebih mempercayai perusahaan. Meskipun demikian, walaupun dua atau tiga kali pengulangan pembelian mengindikasikan kepuasan produk, pembelian awal inimasih mengevaluasi hubungan. Jika perusahaan memberikan pelayanan yang buruk atau produk yang dijual tidak m,emenuhi ekspektasi, maka kemungkinan mereka akan menolak untuk menggunakan produk tersebut lagi.
Perusahaan jarang mengidentifikasi tahap ini dalam siklus hidup pelanggan. Pembeli yang melakukan pembelian ulang tidak serapuh mereka ynag melakukan pembelain pertama kali, namun mereka masih memiliki tingkat retensi yang lebih rendah dari pelanggan inti yang telah melakukan pembelian berulang kali.
Tahap 4: Pelanggan Inti
Pelanggan memasuki tahapan sebagai pelanggan inti setelah mereka mulai membeli barang atau jasa secara regular. Produk perusahaan memenuhi spesifikasi kebutuhan dan nilai yang dekat. Kecuali jika masalah yang besar muncul dalam proses pembelian, pelanggan ini biasanya mengevaluasi ulang produk perusahaan. Kegagalan tertentu produk tidak secara otomatis mengakibatkan defeksi, pengalaman positif terdahulu bertindak sebagai dasar ekspektasi pelanggan dan membawanya pada pengalaman yang mengacewakan. Faktanya pada tahap ini, ekspektasi berubah setiap kali pelanggan menggunakan produk atau jasa tersebut. Hanya dalam bisnis penawaran atau pemaharuan kontrak pelanggan akan melakukan evaluasi ulang keputusan yang telah mereka ambil secara sistematis.
Tahapan inti pelanggan memiliki tingkat retensi tertinggi dan penjualan per pelanggan yang tertinggi. Pelanggan-pelanggan ini sangat istimewa dan harus diperlakukan dengan istimewa pula. Ironisnya, beberapa perusahaan tanpa sadar mekalukan de-empasi pelanggan lama karena alasan tingkat retensi yang tinggi. Manajemen tidak menganggap pelanggan ini sebagai masalah dan karenanya hanya memberikan sedikit perhatian pada mereka.
Tahap 5: Defektor Inti
Pada beberapa tujuan, pelanggan inti bersedia untuk mengganti pemasok atau merek yang biasa mereka gunakan. Beberapa faktor dapat menyebabkan hal ini, seperti suatu produk atau layanan competitor, masalah pelayanan pelanggan yang tidak memenuhi ekspektasi pelanggan atau kebosanan.
Beberapa defeksi pelanggan dapat dikendalikan, namun ada pula yang tidak. Pada saat even eskternal menyebabkan defeksi, kebijakan perusahaan tidak dapat mempengaruhi keputusan. Setiap perusahaan harus mendeterminasi ekstensi dimana even eksternal menyebabkan defeksi. Jika faktor eksternal menjadi lebih prevalen, maka retensi investasi retensi yang dilakukan untuk menghindarkan defeksi tidak efektif.
Sebuah perusahaan dapat mereaktivasi suatu defector jika masalah dikenali dan direktifikasi. Seringkali, suatu perusahaan gagal untuk mengidentifikasi defector dan tidak bertindak memperbaiki kesalahan.
Manajemen ekuitas pelanggan bergantung pada kemampuan untuk mengukur dan mengangregatkan pengukuran dalam penaksiran ramifikasi finansial strategi dan taktik pada level sub segmen dan individu. Artinya juga mengukur faktor yang menyebabkan seperti frekuensi promosi atau kepuasan pelanggan.
Untuk menghitung ekuitas pelanggan, diutuhkan ekuasi matematis yang merepresentasikan hubungan spesifik antara variabel kunci dan yang memungkinkan untuk membuat model bauran efek pemasaran atas variabel kunci ini.

IV. Ekuitas Merek atau Ekuitas Pelanggan?

Aliran brand equity adalah David Aaker dan Kevin Keller. Menurut mereka ada empat komponen penting yang membentuk brand equity. Yang pertama adalah brand loyalty, komponen yang penting karena performance perusahaan sangat bergantung pada seberapa banyak konsumen yang loyal. Yang kedua adalah brand awareness, sejauh mana konsumen tahu tentang keberadaan brand tersebut. Brand awareness yang tinggi dapat meningkatkan familiarity yang positif dan kemungkinan masuk dalam list brand untuk dibeli. Yang ketiga adalah perceived quality, yaitu kualitas brand atau produk tersebut di mata konsumen. Apabila konsumen beranggapan suatu brand kualitas, dia akan lebih mudah membayar lebih untuk brand tersebut. Yang terakhir adalah brand associations, konsep-konsep, orang, atau image yang dihubungkan dengan brand. Brand assosiations berguna dalam pembentukan sikap positif terhadap brand dan menjadi motivasi pembelian.
Sedangkan salah satu tokoh pendekatan customer equity adalah Robert Blattberg dan John Deighton. Istilah customer equity sendiri mereka gunakan pertama kali dalam artikelnya yang dimuat di Harvard Business Review (1996). Menurut pandangan mereka, customer adalah asset perusahaan. Seperti asset-asset lainnya, customer harus dimanage dengan benar sehingga dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. Yang menjadi kunci dalam pendekatan ini adalah bagaimana perusahaan memanage customer life cycle, dari mulai tahap calon customer sampai pada tahap dia berhenti sebagai customer. Dalam proses ini ada tiga asset penting yang harus diperhatikan. Pertama adalah aquisition equity, yaitu asset yang diperoleh dari kegiatan akuisisi customer. Kedua adalah retention equity, asset yang diperoleh dari kegiatan rentensi. Ketiga adalah add-on selling equity, asset yang diperoleh jika perusahaan bisa memotivasi customer untuk membeli produk-produk yang ada dalam product line mereka.
Disebutkan bahwa kedua pendekatan ini bisa menyebabkan perbedaan dalam pembuatan strategi dan program marketing. Perusahaan yang berorientasi pada merek cenderung berfokus pada kualitas produk dan layanan pelanggan sebagai wahana untuk membangun persepsi nilai merek. Perusahaan tersebut beriklan untuk memposisikan mereknya, namaun cenderung menghindari promosi penjualan karena khawatir akan mengurangi nilai merek. Di banyak perusahaan yang berorientasi pada merek, pengembangan produk berfokus pada perluasan lini (line extentions) yang dimaksudkan untuk memanfaatkan citra positif nama merek ke sejumlah arena baru. Perusahaan-perusahaan seperti itu akan berusaha keras dengan para pesaing dalam sistem distribusi multijenjang.

Pertanyaan yang timbul sekarang adalah pendekatan manakah yang sebaiknya diambil oleh seorang marketer dalam menyusun strateginya. Tidak ada jawaban yang simpel untuk pertanyaan ini. Tapi sedikitnya ada beberapa faktor yang bisa dijadikan acuan untuk memilih pendekatan mana yang akan dipakai. Pertama adalah karakeristik pasar. Untuk jenis pasar dimana brand sangat menentukan persaingan, seperti pasar mobil mewah, pendekatan brand equity adalah pilihan yang tepat. Sebaliknya untuk pasar dimana diferensiasi kurang berfungsi, pendekatan customer equity akan lebih baik. Faktor kedua adalah karakteristik konsumen. Apabila pengetahuan konsumen tentang kualitas sangat terbatas, seperti produk-produk high-tech, brand menjadi kunci dalam persaingan dan pendekatan brand equity akan lebih cocok untuk konsumen seperti ini. Faktor yang ketiga adalah product life cycle. Untuk jenis produk yang baru muncul, brand akan menjadi parameter dalam pengambilan keputusan pembelian. Artinya, untuk produk pada tahap ini pendekatan brand equity akan lebih baik. Sebaliknya untuk produk-produk yang sudah masuk mature stage dan decline stage, retensi core customer akan menentukan keunggulan persaingan, marketer sebaiknya memilih pendekatan customer equity.

REFERENSI
Aaker, David. A, 2001, Alih Bahasa Ananda Aris, Manajemen Ekuitas Merek: Memanfaatkan Nilai
dari Suatu Merek, Spektrum Mitra Utama-Prentice Hall.
A.B. Susanto, Power Banding., http://www.jakartaconsulting.com/art-01-18.htm. Diunduh
23 Juli 2009
Durianto, Darmadi, Sugiarto, Sitinjak, Toni, 2001, Strategi Menaklukkan Pasar, Melalui Riset Ekuitas
dan Perilaku Merek, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hermawan Kartajaya, 2004, Hermawan Kertajaya On Branding, Mizan Media Utama, Bandung
Indonesia.
Kotler Philip, 1997. Marketing Management, Ninth Edition. Prentice-Hall, Inc A Simon & Schuster
Company Upper Saddle River, New Jersey
Robert C. Blattberg, Gary Getz and Jacquelyn S. Thomas.,2001. Customer Equity, Building
and Managing Relationships as Valuable Assets. Harvard Business School Press
Shelby D. Hunt, 1991. Modern Marketing Theory : Critical Essues in The Philosophy of Marketing
Science. South-Western Publishing Co, Cincinnati, Ohio.

1 Komentar:

Pada 3 Desember 2020 pukul 03.40 , Blogger KHOLITZ mengatakan...

Serasa baca koran

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda