Jumat, 10 Oktober 2008

TRADISI DAN INFLASI

Menjelang hari raya besar keagamaan di negara kita misalnya: menjelang bulan puasa dan Lebaran, harga berbagai jenis barang kebutuhan pokok serta jasa, perlahan tapi pasti mengalami kenaikan diseluruh wilayah Indonesia. Hari raya keagamaan tersebut memang mempunyai karakteristik sendiri bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, yang ditandai dengan bertambahnya pengeluaran rumah tangga masyarakat Indonesia yang cukup drastis. Bertambahnya permintaan, terutama untuk jenis barang kebutuhan pokok, sandang dan jasa transportasi, mendorong kenaikan harga, dalam konteks ekonomi pada momen tersebut ditandai dengan dorongan terhadap inflasi karena adanya tekanan dari sisi permintaan (demand pull inflation) dengan demikian hukum penawaran (supply) dan permintaan (demand) berlaku secara efektif.
Fenomena seperti ini sepertinya sudah sangat dimaklumi oleh konsumen maupun produsen/pedagang. Tidak sedikit sering terdengar keluhan dari konsumen khususnya kaum ibu yang sering berhubungan dengan kebutuhan pokok, namun keluhan itu umumnya sama sekali tanpa arti, dan pada akhirnya terkesan pasrah menerima kenyataan. Kerap kali pemberitaan di media massa fenomena tersebut disebabkan karena faktor spekulasi, namun reaksi konsumen terkesan tak mau peduli. Solah-olah memaklumi, inilah momennya bagi produsen/pedagang untuk mencari keuntungan lebih.
Begitulah realita yang kita hadapi. Seringkali terjadi, jika sekali harga naik ia akan bertahan pada posisi barunya, sampai pada suatu saat menemukan momentum untuk kembali naik, dan proses itu terus berlangsung tanpa kendali, terkecuali untuk barang atau jasa tertentu yang harga dan pasokannya dikontrol oleh pemerintah.
Pergerakan naik harga barang dan jasa sudah terasa sejak awal puasa. Bahkan seolah-oleh tidak peduli pada berbagai pernyataan para pelaku ekonomi tertentu khususnya pihak pemerintah, bahwa tidak perlu khawatir akan pasokan barang kebutuhan pokok, namun tetap saja harga barang-barang seperti daging, gula, minyak goreng, terigu serta sayur-mayur, merangkak naik. Sehingga faktor meningkatnya permintaan menjadi salah satu alasan, selain itu juga kita sering menduga sejumlah faktor lain dapat ikut mempengaruhinya, misalnya faktor psiklogis pasar antara lain:
· Tingginya curah hujan, yang dapat mempengaruhi pasokan, terutama bagi aneka macam barang yang tidak tahan disimpan lama, seperti sayur mayur.
· Isu Kenaikan Upah Minimum Regional (UMR)
· Pengumuman rancangan anggaran negara yang mengisyaratkan bahwa akan ada kenaikan gaji pegawai negeri pada tahun depan.
Bisa dipastikan kenaikan permintaan barang mencapai puncaknya menjelang Hari Raya Idulfitri, sehingga tidak ada waktu lagi untuk menunda belanja, sementara bagi pegawai yang menerima gaji tetap, gaji plus THR (Tunjangan Hari Raya) sudah diserahkan oleh para majikan. Kenaikan permintaan barang ini selain di sebabkan karena faktor psikologis diatas juga disebabkan oleh :
· Bila ditinjau dari aspek ekonomi, Hari Raya Idulfitri adalah sebagai hari kemenangan bagi umat muslim dimaknai oleh sebagian besar rakyat Indonesia dengan menyediakan berbagai jenis makanan dan minuman.
· Ditinjau dari aspek budaya masyarakat Indonesia, Idulfitri juga diartikan sebagai hari untuk menunjukkan status sosial sebuah keluarga. Ada pandangan sebagian besar masyarakat bahwa Hari Raya Idulfitri semuanya berbau harus baru, mulai dari motor baru, mobil baru, handphone baru dan baju baru.
· Hari Raya Lebaran juga identik dengan reuni atau berkumpulnya seluruh keluarga. Sehingga akibatnya harga tiket transportasi darat, udara maupun laut melambung tinggi mulai dari harga tiket bus, kereta api, pesawat dan kapal laut.
Pada kondisi puncak permintaan seperti ini, faktor rasionalitas para pelaku pasar akan mudah hilang. Faktor psikologis para pelaku pasar, mulai dari produsen hingga konsumen, sering berbicara ketimbang akal sehat. Jika sedikit saja terjadi gangguan pada salah satu mata rantai distribusi, bisa jadi akan mengundang berbagai kekhawatiran pada mata rantai pasar berikutnya, sehingga dampak akhirnya lagi-lagi konsumen yang dirugikan. Fenomena ini dapat dilihat pada skala prioritas kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, prioritas utama lalulintas orang/penumpang ketimbang lalu lintas barang akan mengakibatkan distribusi barang akan terhambat, dampaknya dibeberapa daerah terjadi kelangkaan barang dan akibatnya sudah bisa ditebak kenaikan harga akan terjadi lagi. Inilah masa-masa sulit bagi pemerintah di satu sisi ledakan aktivitas mudik yang berhubungan dengan nyawa manusia sangat diperhatikan disisi lain disribusi barang menjadi dinomor duakan. Sinkronisasi kedua aktivitas tersebut sekaligus memang tidak mudah baik untuk kelancaran arus mudik dan arus distribusi barang. Namun demikian, paling tidak semua pelaku pasar berharap, dengan memahami betapa pentingnya kelancaran distribusi barang terutama kebutuhan pokok, pemerintah tidak akan lagi menganaktirikan angkutan barang.
Akan lebih baik jika pemerintah selalu melakukan koordinasi dengan para pelaku pasar khususnya produsen maupun pihak-pihak yang terkait untuk bisa mengamankan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Disamping itu, kebijakan pemerintah dengan melakukan operasi pasar tetap dilakukan meskipun cadangan kebutuhan pokok di berbagai wilayah Indonesia cukup tersedia selama bulan puasa agar tidak terjadi gejolak di pasar.
Fenomena ini juga akan menjadikan test case bagi kemampuan pemerintah di dalam menstabilkan harga barang-barang kebutuhan pokok khususnya pada tahun mendatang pada momen yang sama, dengan harapan akan menekan laju tingkat inflasi. Disamping itu, khususnya masyarakat muslim yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia juga ikut membantu pemerintah untuk mengerem kenaikan tingkat inflasi. Pemerintah tidak akan bisa sepenuhnya mengendalikan inflasi, karena inflasi selama bulan Ramadhan juga bersumber dari kebiasaan masyarakat yang dapat dikatakan berlebih-lebihan dalam hal pengeluaran dan tidak jarang uang tersebut berasal dari utang.Kita bisa mengerem pengeluaran kita selama bulan puasa dan pada saat Hari Raya Idulfitri, sehingga moment tersebut tidak harus dimaknai dengan perayaan yang berlebih-lebihan.